Rabu, 30 Maret 2011

Ketaatan dan penundukan (Kejadian 22:1-19)

Berbicara masalah ketaatan dan penundukkan, saya ingat beberapa tahun lalu sewaktu anak pertama saya sedang sakit dan harus dirawat selama 1 thn. Selama ia dirawat, walau saat itu saya hanya bisa memberikan dia obat-obatan yang murah serta perawatan di kelas yang biasa dari RSCM, tapi dalam hati saya selalu ingin memberikan yang terbaik kepadanya. Dan kerinduan saya adalah anak saya itu dapat sembuh dari sakitnya.
Tapi apa yang terjadi bukanlah seperti yang saya harapkan, saya harus kehilangan dirinya di tahun 2004. Pada saat itu, saya betul-betul merasa kehilangan yang teramat sangat. Padahal tahun 2003 sebelumnya saya baru saja kehilangan ibu yang amat mencintai saya dan yang amat saya cintai. Saya amat dimanja olehnya, sehingga saya sangat dekat dengannya dibanding kepada saudara-saudara saya. Namun, tahun 2004 itu saya betul-betul bisa membedakan rasa kehilangan yang terbesar antara kehilangan anak dengan kehilangan seorang ibu yang melahirkan. Ternyata, rasa kehilangan dan duka yang terbesar adalah kehilangan seorang anak.

Dari pengalaman tersebut, saya mencoba membayangkan apa kira-kira yang dialami oleh Abraham ketika Allah meminta dirinya mengorbankan Ishak yang merupakan anak perjanjian Allah kepadanya. Bagaimana rasanya mengikat anaknya dengan tali lalu meletakkan anak itu di atas kayu bakar. Dan bagaimana bergejolaknya jiwanya ketika ia sedang menghunuskan belatinya siap untuk membunuh anak tersebut. Saya pikir Abraham benar-benar mengalami guncangan dalam batinnya karena harus kehilangan anaknya sendiri.
Sebab itu, menurut saya ketaatan dan ketundukan Abraham kepada Allah memang memerlukan pengorbanan yang sangat besar. Karena apa? Karena Abraham sepertinya harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Namun, sesuatu yang berharga itu, dalam perspektif iman Abraham bukanlah sesuatu yang harus dipertahankan demi Allah. Hal serupa pernah Yesus ungkapkan ketika IA duduk menghadapi peti persembahan. IA melihat orang kaya yang memberi sejumlah uang cukup banyak. Sementara ada seorang janda miskin yang hanya memberi dua peser yaitu satu duit. Tuhan justru melihat janda tersebut memberi lebih banyak dibanding orang-orang lain karena ia memberi dari semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya. Tentunya ini sangat berharga untuk dia dapat menyambung kehidupan. Ia melakukan pengorbanan demi ketaatan dan ketundukan terhadap firman Allah.

Jadi bagaimana kita bisa taat dan tunduk seperti yang dilakukan oleh Abraham dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya kepada Allah? Ada beberapa poin yang dapat menjadi berkat bagi kita saat ini.

Poin :
1.      Mengalami perjumpaan/pengalaman dengan Allah.

Alkitab menceritakan bagaimana Abraham bertemu/mempunyai pengalaman khusus dengan Allah. Pada saat dia pertama sekali keluar dari Ur Kasdim karena diperintahkan Allah pada dirinya, Abraham masih memakai nama lamanya yaitu Abram. Serta istrinya masih bernama Sarai. Lalu Allah mengubah nama Abram menjadi Abraham (Kej.17:5) sekaligus menetapkannya menjadi bapa sejumlah bangsa besar. Dan kita bisa melihat dampak yang terjadi dalam diri Abraham ketika mengalami perjumpaan-perjumpaan dengan Allah. Terlihat dari berbagai tindakannya yang juga memelihara hubungan yang sangat baik dengan Allah. Bahkan Alkitab mencatat betapa akrabnya Abraham dengan Tuhan ketika ia berusaha mengadakan tawar menawar tentang kota Sodom dan Gomora. Bahkan perjumpaan itu mengakibatkan iman Abraham yang semakin besar dan ia semakin taat pada pasal 22 ini.

Lewat pertemuan dan pengalaman bersama Tuhan, maka Abraham melihat Allah yang disembahnya, Allah yang memberi perintah padanya adalah Allah yang Mahabesar, Allah yang Mahakuasa, Allah yang tidak pernah mengecewakan. Sehingga ketika dia menerima perintah untuk mengorbankan anaknya di gunung Tuhan, maka ia berpikir Allah tidak akan mengecewakan dirinya, Allah tidak akan membiarkan janji-Nya sendiri tidak terpenuhi. Sebab, Allah yang sudah berjanji kepadanya bahwa lewat Ishak lah dia akan mendapat perjanjian Tuhan yaitu turunannya sebanyak bintang di langit.

Perjumpaan dengan Allah bagi kita saat ini adalah disebut dengan pertobatan yang pertama sekali dengan Tuhan. Kita berjumpa dengan Dia dan membuat kita berbalik 180 derajat dalam hidup ini. Kita yang awalnya tidak percaya, menjadi orang percaya. Kita yang awalnya orang jahat, menjadi orang yang berubah sungguh-sungguh dari segala kejahatan kita. Itulah awalnya kita dapat menyebut diri sebagai orang Kristen, sebagai pengikut Kristus. Sesudah itu, kita mengalami kebersamaan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Yaitu kita menempatkan Tuhan sebagai fokus kehidupan kita. Apapun yang akan kita lakukan akan kita jaga jangan sampai melukai hati Tuhan, jangan membuat kita berdosa. Melalui pembacaan firman, mendengar khotbah, dalam doa, dalam pujian, kita bisa bertemu dan mengalami kebersamaan dengan Tuhan.

Sekarang bagaimana dengan kita? Apakah kita menjadi orang Kristen hanya karena mengikuti tren? Hanya karena mencontoh orangtua, atau orang-orang yang kita kenal, tanpa mengerti sebenarnya untuk apa kita jadi Kristen? Atau kita mengetahui tentang Kristus sebatas lewat buku rohani, lewat khotbah para hamba Tuhan, lewat kesaksian orang-orang tanpa pernah mempunyai perjumpaan yang sungguh-sunugguh, tanpa mempunyai pengalaman kebersamaan dengan Tuhan? Ini namanya orang Kristen second hand.....Atau adakah kita memang punya pengalaman pribadi, perjumpaan yang pribadi dengan Tuhan?  Kalau belum, masih ada waktu bagi kita untuk bertobat sungguh-sungguh di hadapan Tuhan.

Ilustrasi :  Pada suatu hari yang terik di musim panas, saya dan putri saya sedang menikmati permainan arung jeram di sebuah taman wisata air. Ketika kami sedang antri untuk membeli tiket, saya mendengar seorang pria bertanya, "Adakah yang tahu ke mana tujuan arung jeram ini?" Orang yang berdiri di samping pria itu menjawab, "Saya tidak tahu." Mendengar jawaban tersebut, saya tertawa tertahan, tetapi kemudian saya menyadari bahwa sebenarnya saya pun tidak mengetahuinya.

Akan tetapi, saya tidak peduli akan hal itu. Yang penting hari itu saya dan putri saya dapat bersenang-senang. Ke mana perahu itu membawa kami pergi bukanlah hal yang penting. Yang terpenting saat itu adalah kebersamaan kami.

Pengalaman tersebut membuat saya merenungkan sikap saya sendiri terhadap ungkapan "Berjalan bersama Tuhan." Adakah kita begitu kuatir akan apa yang akan kita hadapi dalam hidup ini sehingga kita tak mampu lagi merasakan sukacita bersama-Nya setiap hari? Bukankah yang terpenting dalam kehidupan iman kita adalah persekutuan kita dengan-Nya, dan bukan hal-hal yang akan kita hadapi?

2.      Mempunyai iman yang besar

Seperti yang Alkitab tegaskan bahwa iman adalah anugerah Allah kepada setiap orang yang percaya. Namun, iman akan disebut iman yang mati jika tidak kita menjadikannya sebagai dasar dari tindakan kita. Artinya : jika kita katakan bahwa kita adalah orang percaya, namun tindakan kita tetap egois, tetap suka menjahati orang lain, suka melawan, korupsi dll, apakah iman tersebut memang ada dalam hidup ini? Itulah yang disebut Yakobus sebagai iman yang mati.
Iman dalam kehidupan orang percaya disebut sebagai iman yang semakin besar jika seseorang mempraktekkan setiap aspek kehidupannya berdasarkan iman percayanya kepada Allah. Misalnya, 2 tahun lalu si A menyebut dirinya beriman dan percaya kepada Yesus. Tetapi 2 tahun lalu, si A hanya mendasarkan aspek kehidupan keuangan dan beribadahnya sesuai dengan iman percayanya. Setelah mencoba terus agar imannya bertumbuh atau semakin besar, maka dalam 4 tahun berikutnya, dia semakin mendasarkan aspek kehidupan yang lainnya seperti aspek pacaran, emosinya dan lain sebagainya.
Kita mengetahui dalam iman ada unsur percaya/mempercayai, dan mempercayakan serta pengharapan akan masa depan yang lebih baik bersama Tuhan. Dan hal inilah yang dilakukan oleh Abraham ketika membawa Ishak ke gunung Tuhan. Ia percaya kepada Allah dan mempercayakan kehidupannya kepada Allah sambil menunggu pertolongan Allah dalam kejadian yang ditugaskan Allah kepadanya. Kita bisa melihat hal tersebut dari beberapa hal. Antara lain: dalam menerima perintah Allah tersebut, Abraham mempunyai waktu yang cukup (3 hari dalam ay.4) untuk berpikir mau mentaati atau menolak perintah yang mungkin dapat dianggap tidak masuk akal. Iman Abraham bukanlah iman yang terburu-buru, iman yang spontan, iman yang tidak memakai logika. Karena pasti dia akan berpikir sepanjang 3 hari perjalanan tersebut.
Kemudian dalam ayat 5 ketika ia berkata kepada 2 hambanya : “Kami akan sembahyang, sesudah itu kami akan kembali kepadamu.” Padahal di ayat 2 Allah sudah memerintahkan kepadanya untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran. Jika Abraham tidak beriman maka jawabannya di ayat 5 adalah : “Kami akan sembahyang, sesudah itu aku akan kembali kepadamu.”
Demikian juga ketika Ishak dalam ayat 7 bertanya kepada Abraham dimanakah anak domba untuk korban bakaran itu. Abraham berkata, “Allah akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya anakku.” (ay.8). tentunya kalau Abraham tidak beriman, mungkin ia tidak mampu menjawab hal itu karena ia sendiri sedang dalam gundah gulana. Dari dua kalimat yang diucapkan Abraham terlihat kalau kata-katanya penuh keyakinan dan pengharapan. Bahkan ketika sudah mengikat anaknya dan diletakkan di atas kayu pembakaran, Abraham tetap hendak melakukan apa yang Tuhan perintahkan kepada-Nya yaitu mengambil belati untuk menyembelih anaknya. Sampai akhirnya Tuhan melalui Malaikat Tuhan memberi konfirmasi dari surga tentang iman Abraham (ayat 12 dan 16) yang luar biasa tersebut. Abraham memang memiliki iman yang sejati, iman yang tak tergoyahkan.
Jhon Wesley menjelaskan ayat ini bahwa “Tuhan telah mengetahui hati Abraham bahwa ia memiliki hati yang takut akan Allah dan mengasihi Tuhan lebih daripada yang lain, dan hal itu memberi bukti yang mengesankan tentangnya bagi Allah, sebab ia lebih memilih tunduk pada otoritas Tuhan”.
Seberapa banyak janji Tuhan yang telah kita terima selama kita mengenal Kristus dalam hidup kita? Seberapa banyak kita tetap beriman bahwa Tuhan pasti akan menggenapinya dalam hidup kita? Tidak peduli seberapa berat masalah yang kita hadapi, Tuhan tetap memegang kendali atas hidup kita. Kita dapat melihat semakin Abraham melangkah ke tempat pengorbanan, maka waktu untuk membunuh anaknya semakin dekat. Secara jasmani-pun Abraham tidak melihat jalan keluar baginya. Tetapi dia tetap beriman bahwa Tuhan pasti akan menolongnya. Mari kita tetap memegang teguh janji-janji yang telah Tuhan berikan bagi hidup kita. Walaupun keadaaan dan kondisi di sekitar kita semakin memburuk dan bahkan tidak seperti yang kita harapkan, biarlah kita mengimani bahwa Tuhan pasti akan menolong kita. Dan janji Tuhan adalah ya dan amin. Dia tidak akan lalai untuk menepati janji-janjiNya.

Ilustrasi : di suatu negara komunis, pelarangan untuk beribadah, bergereja selalu diadakan. Namun, ada sekelompok orang percaya dalam satu desa yang ingin melakukan ibadah hari Minggu. Mereka mencari tempat yang jauh dari desanya. Dan di tempat itu ibadah yang mereka lakukan dengan suara yang cukup perlahan termasuk bernyanyi dan mendengar firman Tuhan. Lalu pada suatu hari Minggu, ketika orang-orang itu melakukan ibadah, tanpa sadar mereka sudah diintai oleh sekelompok polisi rahasia negara. Mereka pun terkejut ketika polisi secara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan ibadah. Semua orang disuruh berbaris. Komandan polisi lalu mengambil salib yang ada tergantung di ruangan itu dan meletakkannya di lantai. Kemudian dia memberi perintah agar siapa saja yang mau menginjak-injak Salib itu, meludahinya dan menyangkal imannya kepada Yesus Kristus akan dibebaskan dari hukuman penjara dan kerja paksa. Pada awalnya seluruh orang Kristen dalam ruangan itu tidak ada  yang melakukannya. Dengan nada tidak sabar, komandan polisi itu memberi perintah tersebut sambil mengambil pistolnya serta menembakkannya ke udara.

Dengan sikap yang gemetar entah karena mau menyelamatkan diri agar terlepas dari hukuman yang akan dikenakan pada mereka, atau karena melihat kemarahan si komandan polisi akhirnya satu per satu maju untuk melakukan apa yang di perintahkan oleh sang komandan polisi. Namun, tidak semua yang maju melakukannya. Tersisa dua orang tua. Komandan polisi semakin berang dan tetap menyuruh mereka melakukan perintahnya. Tapi kedua orang itu tidak mau sambil berkata : “ Walaupun tuan akan menembak mati kami, tapi kami tidak akan melakukannya. Karena betapa hinanya diri saya apabila saya melakukan tindakan yang tuan suruh kepada Allah yang telah mati dan menyelamatkan diri saya.”

Mendengar jawaban itu, komandan itu berpikir. Lalu ia menjawab, “ Saya akan membebaskan kalian berdua dari hukuman apapun. Tetapi orang-orang yang sudah melakukan apa yang saya perintahkan, mereka justru saya akan hukum. Karena mereka telah berbuat penghianatan. Sebab untuk orang yang telah menyelamatkan jiwa mereka saja mereka berani berhianat, apalagi untuk negara. Mereka adalah orang-orang tak berguna.”

3.      Mempunyai sikap takut pada Allah

Kejadian 22:12 mencatat perkataan malaikat Allah mengenai Abraham, “... sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” Frasa “takut akan Allah” adalah ungkapan yang digunakan secara umum pada masa kini. Dalam bahasa Ibrani, kata “takut” dapat dipahami dalam dua arti. Kadang-kadang, kata itu berarti ketakutan, tetapi kata “takut” juga bisa berarti penghormatan kepada seseorang yang posisinya lebih tinggi daripada dirinya. Abraham tidak ketakutan saat berhadapan dengan Allah, sehingga ia terpaksa memberikan Ishak karena takut terkena kutuk atau hukuman Allah. Sebaliknya, ia memiliki penghormatan yang besar kepada Allah, penghormatan yang lahir dari hati yang mengasihi Dia. Takut akan Allah juga berarti adanya kesadaran terus-menerus bahwa hadirat Allah ada di mana-mana, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Abraham memberikan penghormatan yang sedemikian rupa kepada Allah karena ia sangat mengenal Allah. Pengenalan yang dangkal dapat membuat seseorang bersikap sembarangan meskipun yang ada di hadapan-Nya adalah Allah!

Ketika takut akan Allah pada diri Abraham, maka sebenarnya dalam dirinya ada penundukan terhadap otoritas Allah. Karena dia tahu, Allah berkuasa dan berdaulat atas dirinya. Sehingga ini seperti seorang prajurit yang patuh kepada perintah komandannya tanpa harus mempertanyakan kepada komandannya mengapa ia yang dipilih untuk melaksanakan perintah itu, apakah dirinya mampu, apakah dirinya pantas untuk melaksanakan perintah itu. Prajurit yang menerima perintah itu langsung mematuhinya karena ia mempunyai ketundukan kepada otoritas yang lebih tinggi darinya. Sekaligus menunjukkan loyalitas dan komitmen dirinya sebagai seorang prajurit.

Bagimana dengan kita? Apakah kita sudah takut kepada Tuhan?  Saat ini, kita sedang berada dalam zaman yang banyak disebut edan. Karena banyak hal-hal yang dulunya manusia tidak mau lakukan sekarang menjadi suatu yang biasa. Bahkan kalau tidak melakukan, justru dianggap ketinggalan zaman. Saat ini kita masih mendengar bahkan ditayangkan di TV bentuk-bentuk okultisme. Kita juga berhadapan dengan semangat kemajuan peradaban (modernisasi). Banyak fakta membuktikan orang-orang Kristen pun dapat gagal dalam hidup kekristenan: pindah agama, takut berhadapan dengan hantu dan roh jahat, kemiskinan, hedonisme, pementingan diri sendiri, dll.. Banyak orang Kristen tidak sadar bahwa karena statusnya sebagai warga kerajaan Sorga (Filipi 3:20) harus berperang melawan kekuasaan jahat yang menguasai dunia ini. Disinilah kita dituntut untuk menunjukkan sikap takut akan Allah yang kita miliki.

Ilustrasi: ada dua orang mahasiswa di suatu kampus di Amerika. Keduanya adalah orang percaya. Mereka merasa kampus tempat mereka menimba ilmu sudah semakin menjauh dari visi dasar yang diletakkan para pendirinya. Memang pada awalnya, para pendiri sekolah itu telah meletakkan visi dasar sekolah itu pada firman Tuhan. Namun, seiring berjalannya waktu, kampus itu sudah semakin melenceng dari firman Tuhan. Itulah yang menyebabkan kedua mahasiswa itu ingin menyuarakan hati mereka. Lalu mereka melihat ada satu dinding besar yang terletak di pinggir kampus. Di dinding itu, mereka menggambar banyak ikan warna warni yang sedang berenang. Uniknya, dari sekian banyaknya ikan yang mereka gambar, ada dua ekor ikan yang berenang berlawanan arah dengan ikan-ikan lainnnya.

Ketika rektor mendengar mereka menggambar dinding di pinggir kampus, ia segera pergi melihat gambar itu. Dan di situ cukup banyak mahasiswa yang melihat gambar itu termasuk ke dua mahasiswa yang melukisnya. Rektor menjadi marah setelah melihat gambar tersebut karena merasa gambar itu telah mengotori kampus sedang pelukisnya tidak meminta izin kepadanya. Namun, sambil memperhatikan gambar besar itu, rektor akhirnya terusik dengan dua ikan yang berenang berlawanan arah dari ikan-ikan lainnya. Ia akhirnya bertanya kepada dua mahasiswa yang menjadi pelukis gambar itu. “Mengapa kalian menggambar dua ikan itu berbeda arah dengan yang lain?” Keduanya menjawab : “Seluruh gambar ikan ini menunjukkan kampus kita ini pak. Namun, sebagian besar ikan-ikan itu berenang mengikuti arus, sedang dua ekor ikan itu adalah kami yang berusaha untuk melawan arus. Kita semua tahu pak, jika ikan berenang mengikuti arus adalah ikan yang sakit dan sebentar lagi akan mati. Sedang ikan yang sehat adalah ikan yang berenang melawan arus. Demikianlah kampus kita ini. Awalnya semua pendidikan bervisi sesuai dengan firman Tuhan. Namun sekarang, semuanya sudah mengikuti arus dunia dan meninggalkan firman Tuhan. Itulah yang kami lakukan sekarang pak.”

4.      Mempunyai sikap mendahulukan Tuhan dari yang lain

Beberapa teolog Barat, bahkan mengatakan kalau narasi yang dicatat dalam Kejadian 22 ini merupakan hal yang mustahil. Bagaimana mungkin seorang ayah tega membunuh anak kesayangannya. Hal tersebut sama seperti ungkapan seorang tokoh terkenal dunia pertelevisian dalam otobiografinya. Ia menulis : “Jika Bapa surgawi penuh kasih, mengapa Dia tidak turun dan menggantikan Anak-Nya yang tunggal itu di Kalvari?”  Perkataan itu menyatakan betapa dangkalnya pemahaman penulis itu tentang kasih seorang bapa yang baik di dunia ini dan betapa dalamnya kasih yang dinyatakan Tritunggal yang kudus.

Bahkan salah satu teolog besar mengatakan Ishak pasti mengadakan perlawanan kepada sang ayah. Karena sang ayah sudah terlalu tua, tidak mungkin dia dapat menang melawan anaknya. Namun, apa yang mereka katakan sebenarnya dari sisi manusia biasa adalah benar. Tetapi mereka melupakan satu aspek dalam iman Abraham yaitu mendahulukan kehendak Allah. Abraham pasti sudah mengenal siapa Allah tersebut sehingga ia harus mendahulukan kehendak Tuhan dibandingkan perasaannya, hatinya bahkan pikirannya. Bukan hanya menyangkut dirinya sendiri tetapi juga menyangkut diri Sarah.

Disinilah yang menjadi pelajaran yang berharga bagi kita, dalam mendahulukan kehendak Tuhan, kita membutuhkan penyangkalan diri. Karena seringkali kita melihat, kehendak Tuhan seperti firman yang kita miliki, sering bertentangan dengan kehendak diri sendiri. Sehingga mau tak mau, kita harus memilih, apakah kita mau mendahulukan kehendak Tuhan atau mengikuti kehendak sendiri. Jika mau mendahulukan kehendak-Nya, maka kita harus menyangkal diri.

Hal ini ditegaskan Yesus Kristus dalam Injil Lukas 9:23, untuk dapat mengikut Dia kita harus menyangkal diri setiap hari. Penyangkalan diri merupakan salah satu kunci keberhasilan kita menang atas daging, kehendak yang berdosa. Coba saja, saya mau tanya, bukankah lebih enak kalau kita sekarang itu jalan-jalan, makan bersama, atau aktivitas apapun itu yang kita senangi, dibandingkan dengan beribadah pada hari ini? Hayo siapa yang terpaksa beribadah hari ini?

Ilustrasi :  Hati Abraham pasti sangat terpukul saat berdiri di atas Gunung Moria bersama anaknya, Ishak. Ia telah mempersembahkan banyak korban sepanjang hidupnya, tetapi korban yang satu ini sungguh berbeda. Kali ini, Allah meminta Abraham untuk mempersembahkan anaknya, anak perjanjian, di atas mezbah. Namun demikian Abraham tetap mempercayai kasih dan integritas Allah.
Ketika Abraham sudah bersiap hendak menyembelih Ishak, seorang malaikat menghentikannya dan menyediakan seekor domba jantan sebagai ganti Ishak. Abraham telah berserah penuh kepada Tuhan, maka Ishak, putranya, dikembalikan kepadanya.
Penyerahan diri yang total ini diilustrasikan dalam dunia binatang. Ketika dua ekor serigala berkelahi mempertahankan batas wilayah, konflik tersebut berakhir dengan cara yang tidak lazim. Saat salah seekor serigala menyadari bahwa ia tidak mungkin menang, ia mengisyaratkan sebuah tanda bahwa ia menyerah dengan mendekatkan bagian bawah lehernya ke taring musuhnya. Namun, dengan alasan yang tak dapat dijelaskan, si pemenang tidak membunuhnya. Sebaliknya, ia membiarkan hewan yang ditaklukkan itu pergi dengan bebas.
Kita harus bersedia mempersembahkan sesuatu yang paling berharga bagi kita kepada Kristus. Dia menginginkan lebih dari sekadar waktu luang dan harta milik kita yang tersisa; Dia ingin menjadi Tuhan atas segalanya dalam hidup kita. Saat kita bersedia melepaskan apa yang paling kita kasihi, maka kita akan merasakan kebebasan karena berserah kepada-Nya. Penyerahan diri adalah rahasia untuk mencapai puncak kehidupan!








Selasa, 29 Maret 2011

Pengalaman melewati penderitaan

Ada seorang bapak yang suka mengeluh jika sedang mengalami kesusahan, penderitaan dalam hidupnya. Suatu kali ketika sedang mengalami kesusahan dalam hidupnya, ia pergi menjumpai seorang pendeta. Ketika bertemu dengan pendeta tersebut, bapak tersebut mengeluh betapa hidupnya tidak dikasihi Tuhan. Karena Tuhan sepertinya memberi kepadanya suatu ujian dan membiarkan dirinya jatuh dalam berbagai-bagai pencobaan.

Sang pendeta lalu mengambil beberapa benda. Benda yang pertama, sebutir telur ayam yang mentah. Benda kedua, sebuah kentang mentah, dan benda ketiga sebungkus bubuk kopi. Lalu bapak pendeta itu merebus air sampai mendidih. Ketika air mendidih, bapak  pendeta berkata : "Bapak tahu, ketika telur ini mentah maka kulitnya tidak tahan benturan. Dan ketika ia terbentur maka cairan yang didalam cangkang akan meleleh dan tumpah. Lalu pendeta merebusnya. Ia melanjutkan keterangannya. "Sekarang setelah ia direbus dan matang, kulitnya tetap mudah pecah bahkan ada yang retak-retak. Namun, isinya tidak lagi tumpah karena sudah menjadi kenyal yang biasa kita sebut telur rebus.

Dengan kentang mentah tadi pak pendeta merebusnya. Lalu setelah matang, pak pendeta menjelaskan. "Kentang sewaktu matang keras, kita tidak mungkin untuk menekannya dengan jari-jari kita untuk membelahnya, untuk memecah-mecahnya. Tetapi ketika kentang menjadi matang, maka sangat mudah bagi kita untuk menghancurkan kentang itu. Untuk bubuk kopi, pak pendeta juga menyeduhnya dengan air yang mendidih. Pak pendeta menerangkan : "Sebelum diseduh dengan air panas, kopi ini tidak mengeluarkan aroma yang harum. Tetapi sesudah diseduh dengan air mendidih, bubuk kopi ini malah mengeluarkan aroma yang harum dan memancing selera orang-orang sekitarnya.

Bapak yang sedang mengeluh menjadi bertanya : "Apa arti semuanya ini pak pendeta?" Dengan suara lembut, pak pendeta menjawabnya : "Manusia itu dilambangkan dengan ketiga benda tadi yaitu telur, kentang dan bubuk kopi. Sedangkan air mendidih adalah berbagai ujian dan pencobaan dalam hidup manusia. Ada manusia yang seperti telur, ketika dia tidak dalam pencobaan, dirinya seperti cairan telur yang didalam cangkangnya. Hatinya masih cair dan masih mau menerima pandangan orang, dan bahkan mau menerima firman Tuhan. Tetapi setelah dia masuk dalam ujian dan pencobaan, hatinya berubah dari yang cair menjadi membeku. Dirinya tidak lagi mau menerima nasehat, bahkan tidak mau lagi menerima firman Tuhan sebagai suara Tuhan. Hatinya benar-benar membeku untuk itu semua."

"Ada manusia yang seperti kentang. Sebelum orang itu masuk dalam ujian dan pencobaan, dia adalah orang yang kuat dalam beragama, kuat dalam bertuhan. Namun, setelah ia masuk dalam ujian dan pencobaan, maka segala kekuatannya beragama, kekuatannya dalam bertuhan menjadi susut dan ia menjadi lemah rohaninya, lemah dalam imannya, lemah dalam kepercayaannya kepada Tuhan"

"Namun ada orang yang seperti bubuk kopi. Sebelum orang itu masuk dalam ujian dan pencobaan, dia adalah orang yang biasa-biasa saja. Baik dalam iman, kerohaniannya. Namun, setelah ia masuk dalam ujian dan pencobaan, maka imannya akan bertumbuh, kerohaniannya semakin berkembang. Ia semakin menjadi orang yang semakin dekat dengan Tuhan. Sehingga ia seperti bubuk kopi yang harum bagi orang-orang yang disekitarnya. Kehidupannya akan menjadi kesaksian yang baik bagi orang-orang sekelilingnya bahwa Tuhan itu begitu mengasihi setiap orang, Tuhan begitu peduli kepada setiap anak-anak-Nya. Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anak-Nya, meskipun anak-anak-Nya sering meninggalkan Dia." "Jadi pak, ujar pak pendeta itu, hendaknya bapak belajar dari cerita tadi. Janganlah bapak menjadi orang yang seperti telur ayam itu, atau menjadi kentang mentah tadi. Tapi bapak harus belajar menjadi seperti bubuk kopi tersebut."

Bagaimana dengan semua saudara ku? Apakah dengan menghadapi ujian dan pencobaan dalam hidup ini, iman kita, kerohanian kita, kepercayaan kita kepada Tuhan semakin kuat? Ataukah semakin lemah? Belajarlah menjadi seperti bubuk kopi.....Soli Deo Glori

by Awaken Spirit on Tuesday, March 29, 2011 at 10:07am

Kamis, 24 Maret 2011

Belajar dari induk rajawali


by Awaken Spirit on Thursday, March 24, 2011 at 7:48am

Kita tentu semua tahu tentang burung rajawali, yaitu burung yang sering dianggap sebagai rajanya burung. Burung ini selalu membuat sarang di atas puncak gunung batu, atau di tebing-tebing batu yang sangat sudah dicapai oleh manusia. Ada yang unik tentang burung ini. Ketika induk rajawali mempunyai anak, dia punya cara "kejam" untuk melatih anaknya belajar terbang. Ketika sang induk melihat anaknya sudah mempunyai bulu yang cukup banyak untuk terbang, maka sang induk akan menunggang balikkan sarangnya. Sehingga mau tak mau, anak rajawali ini keluar dari sarangnya dan terjatuh ke bawah/jurang yang cukup dalam.

Apakah maksud sang induk? Ia ternyata mau melatih anaknya untuk mengepak-ngepak sayapnya supaya anaknya dapat belajar terbang. Ketika sang induk melihat anaknya belum mampu dengan baik untuk terbang, sang induk akan cepat menyambar anaknya untuk dibawa kembali ke tempat yang tinggi. Demikianlah seterusnya, sang anak yang pada mulanya tidak mengerti mengapa sang induk memperlakukan dirinya dengan kejam, akhirnya mengerti kalau sang induk berlaku seperti itu untuk melatih dirinya terbang. Dan ia melihat sang induk selalu hadir untuk menolong dirinya dan tidak membiarkan dirinya celaka. 

Terkadang, dalam hidup ini kita sering berpikir seperti anak burung rajawali itu. Kita melihat, menghadapi berbagai kesulitan sepertinya seorang diri saja. Tapi kita sering lupa kalau Allah tidak pernah membiarkan kita jatuh dan celaka. Allah memang mengizinkan kita untuk menghadapi berbagai masalah, kesulitan, penderitaan. Ia bermaksud untuk menguji kita dalam berbagai masalah itu dan menghendaki kita bertumbuh dalam iman kepada-Nya. Ia  mau, setiap kali kita menghadapi ujian hidup, kita semakin bergantung dan berharap kepada Allah. 

Jadi, apabila kita sedang menghadapi berbagai masalah hari ini, ingatlah Allah sedang menguji kita dan Ia ingin kita bergantung kepada-Nya, meminta kekuatan dan penghiburan kepada-Nya. Yang pasti, Allah tidak pernah meninggalkan kita. Malahan kita yang terlalu sering meninggalkan Allah.........
Teruslah berjuang kawan di dalam kasih dan karunia Allah kita.