Minggu, 26 Juni 2011

Beri Diri Jangan Simpan Racun

Mungkin tidak banyak orang yang mau menceritakan kegagalannya. Sebab kegagalan itu memahitkan hati dan pikiran. Kegagalan itu juga memalukan. Tentunya kegagalan tersebut mempunyai tingkatan masing-masing. Tingkatan itu terjadi karena terkait banyak aspek seperti berapa besar kekecewaan, kepedihan, dan harapan seseorang dalam satu peristiwa. Atau apabila hal tersebut menyangkut harga diri, melibatkan orang banyak seperti keluarga, rekan bahkan masyarakat di sekitar. Sehingga dapat dimengerti jika tingkat kegagalan seseorang yang sangat mencintai seorang kekasihnya berbeda dengan tingkat kegagalannya untuk mengejar kereta api yang akan ditumpanginya keluar kota. Tingkat kegagalan yang dialami seseorang yang bertanding dalam event internasional dengan tingkat kegagalan seseorang yang bertanding di tingkat RT sangat berbeda. Sehingga, semakin besar atau semakin tinggi tingkat kegagalan yang dialami seseorang, maka semakin besar kepahitan, kepedihan, kekecewaan, beratnya tekanan pada dirinya.

Tentunya kegagalan yang berdampak besar tidak ingin diingat-ingat oleh seseorang karena menyakitkan selain itu membuatnya malu. Karena kegagalan itu seperti catatan akan siapa diri kita sendiri. Catatan yang menunjukkan kelemahan, ketidakmampuan, kebodohan, kesialan, kepahitan, kekecewaan, dan lain-lain. Untuk itu, ibarat catatan rahasia yang tidak boleh diberitahu kepada siapapun juga, catatan itu harus disimpan jauh-jauh di tempat rahasia. Atau kalau perlu disimpan dalam tanah. Jangankan membicarakannya, untuk mengingatnya saja seperti sesuatu yang tidak ingin dilakukan.

Namun, ada juga orang yang tidak tahan untuk menahan kegagalan yang terjadi. Karena kegagalan itu dapat membuat hati ini terasa pahit, dada terasa sesak. Memperumit pikiran yang kesehariannya sudah rumit untuk memikirkan bagaimana cara untuk menjalankan hidup. Kegagalan itu membuat emosi dan jiwanya tidak stabil. Sehingga segala sesuatu dapat dilihat menjadi suram dan akhirnya gelap. Pada saat-saat seperti ini menjadi lahan yang subur bagi si iblis untuk memperkuat serangannya pada orang tersebut. Si iblis akan menampilkan berbagai bujukan yang membuat orang yang gagal itu seperti terpenjara dalam pikiran dan hati yang pahit.

Bila orang yang gagal tersebut sedang berada di tepi pijakan imannya, maka si iblis akan memberi kesan yang mendalam terhadap kegagalan yang sedang dialaminya. Iblis akan menampilkan hidup yang gagal itu adalah hidup tanpa harapan. Sehingga hidup tersebut lebih baik diakhiri. Ada banyak contoh yang dapat kita sebut dari kondisi di sekeliling kita. Sebut saja Arman, seorang pria yang pekerja keras. Ia mempunyai seorang kekasih yang betul-betul ia cintai. Ibarat pepatah katakan : “Tanpa engkau hidupku tiada berarti.” Itulah yang dialami oleh Arman. Ketika ia mengetahui kekasihnya ternyata kawin lari dengan seorang pria. Dalam kondisi tersebut, Arman merasa hidupnya habis, tidak mempunyai harapan. Ia seperti ditipu mentah-mentah oleh seseorang yang telah dicintainya dengan mendalam. Akhirnya ia terbujuk oleh rayuan setan. Ia mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun.

Kita tidak bisa menafikan dan menutup mata bahwa di sekitar kita banyak orang mengalami kegagalan yang cukup membuat diri orang tersebut menderita. Dan penderitaan yang dialaminya itu jika tidak dibentengi dengan iman yang kuat, serta dukungan dari orang-orang sekitarnya akan membuat orang dapat dengan mudah terjebak oleh rayuan setan. Terjebak untuk berbuat yang dilarang agama. Dan berdasarkan data Polda Metro Jaya yang dilansir dari detiknews.com (21/2,’11) menyebutkan dari tahun ke tahun angka bunuh diri di Jakarat semakin meningkat. Dalam tahun 2009 angka bunuh diri mencapai 165 kasus. Pada tahun 2010 kasus itu meningkat menjadi 176 kasus. Berarti setiap dua hari sekali ada 1 orang yang bunuh diri dan setiap bulannya ada 12 s/d 14 orang yang bunuh diri di Jakarta.

Dengan data yang di atas, bukan berarti bahwa setiap orang yang mengalami kegagalan besar akan masuk dalam bujuk rayu si iblis untuk bunuh diri. Belum tentu!! Jika imannya cukup kuat, stabil, dan mendapat dukungan dari orang-orang terdekat serta sekitar, maka orang itu hanya perlu waktu untuk memulihkannya. Tapi dengan catatan, kegagalan itu harus diungkapkan, dibukakan kepada orang-orang yang disekitarnya yang dipercayainya. Namun, jika orang tersebut imannya masih kurang stabil, dan orang itu tidak mendapat dukungan yang kuat dari sekitarnya, ia akan masuk dalam kondisi depresi.

ernyata tumbuhnya kasus bunuh diri atau depresi di Indonesia menurut sebagian ahli karena dipicu oleh parahnya kondisi yang ada di sekitar mereka. Antara lain, semakin beratnya tuntutan hidup di kota-kota besar seperti Jakarta. Dan semakin tingginya tingkat persaingan yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya. Sehingga setiap individu sudah sangat sibuk untuk diri sendiri dan tidak mempunyai waktu lagi buat orang lain. Bahkan seperti menjadi kelaziman tersendiri jika orangtua pun tidak lagi mempunyai banyak waktu buat anak-anaknya. Padahal, dalam melepaskan diri dari kegagalan yang besar bukanlah suatu usaha yang mudah. Selain iman, dibutuhkan juga kemauan orang tersebut untuk melepaskan diri dari berbagai hal yang menyiksa jiwa, hati dan pikirannya. Kemudian membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitarnya.

Kondisi bangsa dan negara kita saat ini semakin membuat tekanan-tekanan hidup begitu besar yang membuat kegagalan besar lebih berpeluang terjadi pada setiap orang. Dan kondisi-kondisi itu juga mengurangi kemampuan orang untuk membangun perhatian, kepedulian, sentuhan, empati dan simpati. Bisa saja karena tidak punya cukup waktu, tidak punya kemampuan untuk melakukannya. Sehingga boleh dikatakan kalau sekarang ini hubungan relasi antar orang ke orang yang lain semakin miskin. Padahal salah satu aspek yang diperlukan untuk pemulihan seseorang dari kegagalan besarnya adalah dukungan dari orang-orang sekitarnya.

Jika pemulihan seseorang dari kegagalannya membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitar, maukah kita menjadi saudara bagi orang lain? Apakah kita mau memberikan diri bagi orang yang membutuhkan? Mungkin mereka butuh untuk didengar, disapa, sehingga mereka dapat merasa dikuatkan, dan akhirnya pulih dari dampak kegagalan besar yang mereka alami. Mari kita hadir bagi orang lain yang di sekitar kita. Mari kita tingkatkan kepedulian kita bagi mereka. Kehadiran kita akan berharga bagi mereka. Kehadiran itu membuat mereka juga akhirnya mau terbuka akan segala kegagalan yang membuat mereka menderita. Kehadiran yang disertai dengan simpati dan empati. Kehadiran yang berlandaskan kasih sehingga kita mampu memerlakukan, memerdulikan, mengasihi mereka seperti diri kita sendiri. Kehadiran itu dapat dilakukan dengan banyak cara, sesuai dengan konteks yang ada di sekitar kita. Dan juga sesuai dengan keahlian kita. Jika hal ini kita dapat lakukan, maka mulai sekarang kita tidak lagi menutup diri bagi orang-orang sekitar, tidak lagi menjauhi orang-orang yang tidak sepaham, seide dengan kita. Kita akan menyatu dalam membantu sesama kita.

Bagi yang sedang mengalami kegagalan dan ingin menyimpannya supaya orang lain tidak perlu tahu, harus diingat, kegagalan seperti itu akan membuat diri kita sendiri rusak. Jika kita hanya menyimpan jauh di dalam hati kita dengan harapan dapat melupakannya, ingatlah hal itupun berbahaya. Seperti yang terjadi di suatu daerah di Afrika beberapa desa di sekitar satu sungai mendapat wabah. Orang-orang di beberapa desa itu terjangkit penyakit perut dan memakan sudah memakan korban. Sebab itu, pemerintah mengundang tim dari luar negri untuk memeriksa dan mencari tahu sumber dari wabah itu. Tim memeriksa air sungai itu, ternyata memang air sungai sudah tidak layak minum karena mengandung bakteri yang dapat menimbulkan penyakit dan kematian. Tim itu lalu menyusuri sepanjang sungai itu, dengan harapan mereka bertemu dengan ‘sesuatu’ yang menjadi sumber wabah itu. Mereka awalnya menduga akan menemukan buangan limbah beracun di sepanjang aliran sungai. Tapi sampai ke hulu, mereka tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengutus beberapa orang menyelam ke bawah air untuk menemukan sumber bakteri itu. Ternyata para penyelam telah menemukan sumber wabah itu. Mereka melihat ada bangkai seekor banteng dengan anaknya terjepit di antara bebatuan yang menjadi tempat keluarnya mata air sungai itu. Itulah yang menjadi racun, sumber bakteri yang menimbulkan wabah dan sampai menelan korban manusia. Kegagalan yang menimbulkan kepahitan hati, kekecewaan itu jika disimpan dalam hati itu akan menjadi bangkai banteng dan anaknya yang terjepit di hati anda. Yang pasti itu akan meracuni seluruh hidup anda.  Anda mau seperti itu?

Kamis, 23 Juni 2011

Menapaki Jalan Penuh Kegagalan

Pernahkah anda mengalami kegagalan? Rasanya hampir tiap orang pernah gagal sesuai dengan versi masing-masing. Ada yang pernah gagal bercinta, gagal menjalin rumahtangga dengan baik, gagal menjadi seorang ayah atau ibu, gagal menjadi anak yang berbakti. Gagal dalam pekerjaan karena melakukan berbagai kesalahan dan lain sebagainya. 

     Saya adalah salah satu orang yang sering mengalami kegagalan. Sepertinya dalam hidup saya, kegagalan ibarat bagian yang tidak hentinya berlangsung. Jika saudara menyuruh saya menghitung dan menuliskan peristiwa-peristiwa mana yang paling banyak terjadi dalam hidup saya, apakah peristiwa tentang kegagalan atau keberhasilan? Maka rasanya peristiwa yang memuat tentang kegagalan saya jauh lebih banyak dari pada peristiwa keberhasilan. 

     Pernah suatu hari, saya mengalami kegagalan yang beruntun. Mulai dari tulisan saya dianggap jelek oleh seorang sahabat. Bayangkan saja, tulisan yang saya sudah kerjakan dalam kurun waktu tertentu, dan saya anggap sebagai magnum opus (karya besar) dari diri saya, malah dikatakan ide tulisan itu loncat-loncat. Tidak ada kesinambungan antara paragraf yang satu dengan yang berikutnya. Merupakan kritikan yang membekas cukup dalam ingatan saya. Ternyata tidak sampai di situ saja kegagalan yang akan saya terima. Ternyata, beberapa jam kemudian saya mendapat sms dari seorang teman info tentang satu keluarga yang ternyata suka menjelek-jelekkan diri saya. Ufff...saya hanya bisa menarik nafas cukup dalam. Rasanya info tentang kejelekan saya itu lebih bersifat fitnah. Karena tidak mengandung kebenaran. Kalaupun ada kebenarannya itu hanya berkisar 10%. Dari 10 keburukan yang diceritakan tentang saya, hanya satu yang benar. 

      Bahkan hanya berselang 1 jam, saya gagal menjual rumah. Memang waktu itu saya ingin menjual rumah. Dan sehari sebelum kegagalan itu datang, calon pembeli sudah menyepakati harga dan berjanji akan memberikan down payment (uang muka) keesokan harinya. Ternyata hal itu batal. Jadi sepanjang hari itu saya merasa terpukul akibat berbagai kegagalan yang beruntun tersebut. Mungkin lain rasanya jika di antara kegagalan yang datang pada hari itu, ada satu keberhasilan yang dapat menggantikan seluruh perasaan yang terpukul dan pikiran yang mumet akibat masalah itu.

      Mungkin anda bertanya, apa standar saya untuk mengatakan diri saya gagal?  Atau mungkin anda berpikir : “Betapa menyedihkan nasib orang ini karena sering mengalami kegagalan dalam hidupnya.” Pertanyaan itu langsung saya jawab dulu. Standar bagi saya kegagalan mudah saja. Yaitu ketika saya tidak mampu menyelesaikan pekerjaan yang saya sedang kerjakan. Atau ketika sudah mempersiapkan segala sesuatu (rasanya persiapan sudah yang terbaik) tetapi tetap saja tidak menghasilkan hasil yang maksimal. Atau ketika sudah menjalankan kehidupan yang dirasa cukup baik, tiba-tiba ada pandangan-pandangan negatif yang muncul dari orang sekeliling. Jadi standar saya untuk menentukan itu gagal atau tidak adalah achievement atau pencapaian. 

      Bagi diri saya, pencapaian adalah semacam pemenuhan cita-cita. Sehingga jika cita-cita itu gagal, maka berarti sia-sialah perjuangan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dan pencapaian merupakan salah satu bentuk pembuktian diri sendiri. Ketika tercapai, maka membuat satu semangat, satu kebanggaan diri bahwa diri saya berhasil, diri saya mampu. Berbagai perasaan positif yang menyeruak dalam relung batin ini seperti mengingatkan saya ketika ibu mengusap kepala saya sambil berkata dengan nada bangga : “Kamu membanggakan ibu, ibu mengasihi kamu.” Tapi dalam hal ini, saya bukanlah orang yang mengidap oedipus complex. (tentunya tulisan ini tidak membahas masalah oedipus complex tersebut).

     Kembali kepada kegagalan. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa kegagalan itu sering menerpa saya. Ada satu bisikan kepada saya, kalau saya harus menjadikan kegagalan tersebut sebagai bahan koreksi dalam hidup ini. Berarti kalimat tersebut seakan hendak menjabarkan kepada saya, bahwa kegagalan yang sering saya hadapi lebih banyak bersumber dari ketidak cakapan saya, ketidak mampuan saya bertindak yang baik dan benar. Waduh.... Namun, ada pembisik lainnya yang mengatakan kegagalan itu adalah satu wadah buat mendidik saya lebih arif dan bijaksana. Hal itu menyiratkan betapa mahal dan menyakitkan bagi saya untuk mencapai keberhasilan itu. Tapi tak ketinggalan satu pembisik lagi yang mengingatkan kegagalan itu seharusnya membuat saya semakin bergantung pada Tuhan. Mendengar itu saya tersenyum pahit. Karena ia mengetahui keboborokan saya yaitu masih jauh dari Tuhan. Masih suka mengandalkan kemampuan diri sendiri. Masih kurang beriman. “Aduh Tuhan, ampuni hamba yang kurang percaya ini,” bisik saya dalam doa.
     
    Tak tahu harus berbuat apa dalam kondisi seperti itu, muncul niat untuk mencari panduan di berbagai tulisan bagaimana cara untuk melewati berbagai kegagalan. Dengan harapan, ada tulisan-tulisan tertentu yang dapat memberikan secercah harapan ketika saya menghadapi kegagalan ini.    

   Dari beberapa mass media yang saya baca, banyak penulis yang dapat menguraikan berbagai latar belakang yang menimbulkan atau penyebab kegagalan. Bahkan dari antara para penulis tersebut ada yang mampu untuk memilah-milah berbagai kegagalan dan menyortirnya sedemikian rupa untuk membantu orang dalam menilai kegagalan. Misalnya, kegagalan tersebut dia klasifikasikan dalam beberapa kategori. Kegagalan menurut ukuran waktu seperti kegagalan jangka panjang, menengah dan pendek. Kegagalan menurut ukuran materi seperti dalam kegagalan tersebut berapa banyak kerugian materi yang diderita. Kegagalan menurut ukuran obyektif dan subyektif. Menurut penulis tersebut, bisa saja menurut orang banyak hal  itu gagal, tapi bagi si pelaku, itu bukan kegagalan. 

     Namun, semakin banyak membaca, semakin mumet rasa di kepala. Alasannya, tulisan yang dibaca kok malah tidak membantu juga untuk memberikan sedikit ketenangan bagi jiwa yang berteriak ini. Malah semakin kencang tuduhan dalam jiwa saya. Mungkin ketika Anda membaca tulisan ini, tergerak hati untuk meringankan tangan menulis dalam komentar dari kolom yang tersedia. Siapa tahu saja, tulisan anda dapat menjadi penguat bagi saya untuk bangkit dari kegagalan demi kegagalan itu. Soalnya sayapun menjadi lelah untuk melanjutkan tulisan ini, karena kegagalan untuk berpikir jernih di kesunyian malam ini.
     

Selasa, 07 Juni 2011

Teladan Dalam Memberi (Bilangan 7:1-11)

     Dalam perikop ini, adanya satu ketetapan Tuhan kepada bangsa Israel dalam memberikan persembahan di Kemah Suci. Ketetapan itu menjadi satu perintah yang harus dijalankan oleh bangsa Israel secara turun temurun. Dari perikop ini kita dapat belajar beberapa hal yang dapat menjadi pelajaran rohani bagi kita.

    Namun, perlu kita ketahui, mengapa kita harus memberi persembahan kepada Allah. Bukankah Dia sudah memiliki segalanya? Apakah karena Ia masih membutuhkan persembahan dari manusia? Keseluruhan Alkitab menjelaskan bahwa apapun yang ada di dunia ini merupakan ciptaan-Nya. Sehingga apapun yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan. Mungkin ada yang berpikir bahwa kita ada karena kita. Saya permisi tanya, apakah kita dapat menjamin nafas kehidupan itu tetap kita miliki selamanya? Jika tidak, siapakah pemilik nafas kehidupan kita?

    Mungkin kita masih berpikir, kalau kita bekerja maka kita dapat uang atau gaji. Saya mau permisi tanya lagi, jika kita katakan kita mendapat uang karena kerja keras kita, maka sebenarnya, apakah kerja keras kita tidak membutuhkan kesehatan, tidak membutuhkan tenaga, pikiran  yang baik? Dari manakah semuanya itu datang? Tentunya semua datang dari Tuhan yang menganugerahkan kepada kita semua. Sehingga, uang yang kita dapat, harta yang kita peroleh, itu sebenarnya milik Tuhan yang dianugerahkan kepada kita. Bukankah sepantasnya kita memberikan kembali kepada Tuhan milik-Nya itu dalam bentuk persembahan?

     Mengapa diperlukan teladan dalam memberi? Kita harus mengerti hidup kita masih dalam tubuh  yang dikuasai oleh dosa. Tentu saja, apabila kita melakukan seseuatu yang berkenan pada Tuhan, daging ini akan berontak. Kedagingan kita dapat berkata: "Untuk apa memberikan persembahan kepada gereja? Jangan-jangan uangnya itu dipakai untuk hidup foya-foya hamba Tuhan saja." Demikianlah kira-kira contoh ajakan dosa untuk melarang kita memberikan persembahan kepada Tuhan lewat gereja-Nya. Jadi, keteladanan dibutuhkan bagi kita agar : kita dapat mempunyai pola atau patron dalam memberikan persembahan. Agar kita dapat dimotivasi dalam memberi dan dapat melawan kehendak dosa yang menghalangi kita melakukan firman Tuhan. Apalagi kita mengetahui dari Alkitab bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan (1Timotius 6:10). Sehingga perlu perjuangan yang khusus, keteladanan yang khusus dalam memberikan petunjuk  yang khusus dalam menjalankan ketaatan dalam memberi ini.

     Ada beberapa hal yang ditunjukkan kepada kita tentang keteladanan dalam memberi pada perikop ini:
1. Keteladanan dari atas ke bawah, dari pemimpin ke rakyatnya. Ini adalah keteladanan dari seorang pemimpin yang berkenan di hadapan Tuhan. Setiap pemimpin bukan hanya menjadi seseorang yang dapat memberi perintah kepada rakyatnya. Tetapi ia harus menjadi teladan yang sebenarnya membawa seluruh rakyatnya semakin patuh kepada Tuhan. Dan keteladanan adalah perintah yang tidak bersuara, namun sangat efektif dan kuat dibanding perintah secara verbal. Makna rohaninya bagi kita adalah : setiap kita haruslah mampu menjadi teladan bagi setiap orang yang disekitar kita. Melalui keteladanan yang kita lakukan, orang akan dapat datang kepada Tuhan Yesus.

2. Keteladanan dalam sikap hati. Walaupun setiap pemimpin/kepala suku diwajibkan Tuhan untuk memberikan persembahan secara berkelompok (satu kelompok ada 2 pemimpin dalam ay.3) serta setiap hari memberikan persembahan (ay.11) mereka tetap memberikan denan tulus dan dalam ketaatan. Karena tanpa ketulusan, akan ada saja kerjasama yang tidak beres. Karena bisa saja, pemimpin yang satu menganggap dirinya lebih baik dari pemimpin yang lain. Selain itu, ketaatan membuat perintah yang diberikan kepada mereka dapat dijalankan dengan baik. Tidak membantah, tidak menggerutu, tidak melawan. Semuanya dipandang sebagai ketaatan pada perintah Tuhan serta ketulusan dalam mengikut Tuhan. Makna rohaninya adalah : setiap kita harus memiliki ketulusan dan ketaatan dalam memberi. Seperti contoh seorang janda dalam Lukas 21:2 yang memasukkan semua uangnya sebagai persembahan. Ketulusan dan ketaatan kita kepada Tuhan secara khusus dalam memberi persembahan tentu tidak lah sia-sia. Sebab itu, jangan sampai kita hitung-hitungan dalam memberi, jangan sampai kita lebih mendahulukan membeli hal-hal yang menyenangkan hati kita, tapi lupa atau tidak mau memberikan persembahan kepada Tuhan.

3. Keteladanan dalam mendukung pelayanan di rumah Tuhan. Seperti yang tercantum dalam ay.4-5 bahwa segala persembahan yang diberikan oleh semua pemimpin suku itu adalah agar pelayanan di rumah Tuhan. Semua pemimpin mengetahui hal itu, dan mereka melakukannya. Walaupun mereka tahu, sebagian persembahan mereka akan dipakai untuk mendukung suku Lewi yang melayani di rumah Tuhan. Maknanya bagi kita adalah : kita harus mengerti bahwa uang persembahan yang kita berikan ke gereja adalah untuk mendukung pelayanan di rumah Tuhan agar dapat berjalan dengan baik. Pelayanan di rumah Tuhan (gereja) saat ini termasuk tunjangan hidup hamba Tuhan, biaya operasional gedung seperti listrik, air, kebersihan, keamanan, dan biaya lainnya. Jika kita meneladani hal tersebut, hati kita harus kita arahkan bahwa dukungan itu semata-mata untuk kemuliaan nama Tuhan. Jangan sampai kita terjebak ke pemikiran yang tidak berkenan kepada Tuhan. Misalnya, jadi berpikir uang persembahan itu akan langsung disalah gunakan oleh majelis gereja atau hamba Tuhan.

Keteladanan dalam memberi diperoleh dengan takut akan Tuhan  

Rabu, 01 Juni 2011

Saling Mendukung dan Menolong Dalam Kebenaran (1Samuel 18:1-5; 20:1-43)

Ada istilah yang sering kita dengar, persahabatan itu seperti kepompong yang mengubah seseuatu yang menjijikkan menjadi sesuatu yang indah. Dari ulat menjadi kupu-kupu yang berwarna-warni. Lewat ungkapan ini mau menyatakan, persahabatan itu menimbulkan sesuatu yang baik bagi seseorang. Tuhan Yesus pun menegaskan pengertian persahabatan sejati yaitu seseorang yang mau memberikan nyawanya pada sahabat-sahabatnya (Yohanes 15:13).
     Mengenai makna persahabatan dalam Alkitab juga dapat kita lihat dari dua orang tokoh yang bersabahat yaitu Daud dengan Yonatan. Persahabatan antara mereka dinyatakan dengan berpadunya jiwa Yonatan dan Daud. Perpaduan itu diterangkan dengan sikap yang mengasihi sahabatnya seperti jiwanya sendiri. Persahabatan itu juga dinyatakan dengan perjanjian dan inisiasi penyerahan jubah, baju perang, pedang, panah dan ikat pinggang (1 Samuel 18:1-4).

     Setelah itu, terlihat pembelaan Yonatan terhadap Daud dari kejaran pasukan ayahnya yaitu Saul yang berusaha untuk membunuh Daud. Sehingga, Yonatanpun harus berhadapan dengan ayahnya. Tapi semua itu menjadi risiko bagi Yonatan yang betul-betul bertindak sebagai seorang sahabat bagi Daud. Dan setelah Yonatan mati dalam perang, Daud tetap memenuhi janjinya kepada Yonatan untuk mengurus keturunan Yonatan dan Mefiboset.

     Untuk itu, kita mendapat pelajaran tentang arti seorang sahabat yaitu : Pertama, saling mendukung dan menolong dalam kebenaran karena hubungan mereka berdasarkan sumpah kepada Tuhan. Kedua, sebagai sahabat dalam mendukung dan membela kebenaran tidak akan mundur walau harus berhadapan dengan ancamana yang datang dari orang terdekat sekalipun. Ketiga, dukungan dan pertolongan dalam kebenaran bukan membabi buta, tetapi berdasarkan fakta  yang ada. Sehingga kebenaran itu bukan hanya kebenaran sepihak tetapi bersifat obyektif. Keempat, dukungan dan pertolongan itu siap diberikan kapan saja (seperti yang dilakukan oleh Daud terhadap Mefiboset).

Dukungan dan pertolongan harus kita lakukan dalam kebenaran Tuhan