Menggunakan dan memperhatikan Lutut


Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja saya membuka web site dari Kompas.com (Senin 7/2/2011) yang mengulas tentang lutut. Artikel itu berjudul “Giliran lutut yang menjadi pusat perhatian” mengulas tentang lutut yang pada kebanyakan orang jarang diperhatikan. Tetapi baru-baru ini semakin banyak orang mengarahkan perhatiannya ke lutut. Salah satu perubahan perhatian itu adalah karena semakin banyaknya wanita menggemari pemakaian rok mini atau celana pendek. Sehingga lutut yang cantik akan menjadi perhatian utama selain pergelangan kaki. Untuk itu, semakin banyak perempuan yang datang kepada para ahli kulit untuk mempercantik kulit lututnya. Selain itu, orang semakin menyadari karena lututlah yang memungkinkan seseorang untuk menekuk tubuh, berlari, berjalan dan lain sebagainya. Tanpa lutut yang sehat manusia itu akan sulit bergerak.

        Artikel itu membuat saya teringat kepada seorang teman yang selalu membawa mertuanya untuk berobat ke dokter seminggu sekali. Oleh dokter, mertua teman saya itu diberi suntikan di daerah lututnya. Ketika saya tanya mengapa harus disuntik (suntikan steroid) bagian lututnya, teman saya menerangkan kalau mertuanya itu mempunyai masalah pengapuran sendi (osteoarthritis) di lututnya. Akibat pengapuran tersebut, mertua teman saya mengalami rasa nyeri yang hebat di lututnya. Membuat ia hampir-hampir tidak dapat menggerakkan lututnya, apalagi berjalan. Dokter memang mengatakan, penyakit osteoarthritis itu sering terjadi pada orang yang berusia lebih di atas 50 tahun serta yang berbadan gemuk. Hal itu disebabkan karena bantalan sendi lutut yang berbentuk cincin (meniscus) dan berfungsi sebagai penahan benturan sudah semakin aus. Apalagi lutut merupakan penyokong hampir seluruh berat tubuh manusia, sehingga lutut sangat rentan terhadap cedera ataupun pengapuran sendi.

        Pengalaman tentang sakit lututpun pernah saya alami. Beberapa waktu lalu sambil membawa barang yang agak berat, saya naik tangga di satu gedung yang berlantai lebih dari 2,  entah karena badan yang memang sudah over weight atau beban bawaan yang lumayan berat., lutut saya tiba-tiba saja sakit. Saat itu, setiap kali melangkah lutut ini seakan-akan lebih mau diluruskan saja alias mogok melangkah. Tetapi karena malu terhadap orang-orang yang ada di sekeliling saya, langkah kaki ini tetap saya pertahankan, walau nyeri tidak mau kompromi dengan saya.

Menurut artikel yang saya bacaa di atas, jika akhir-akhir ini lutut menjadi bagian penting dan perhatian orang banyak ditujukan padanya, maka di dalam konteks budaya Indonesia, lutut sudah menjadi hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana tidak? Coba kita lihat para abdi dalem Sultan di keraton. Mereka  berlutut atau disebut juga dengan bersujud sambil membungkuk dan mengatupkan kedua tangannya di depan dada ketika berhadapan dengan raja yang begitu dihormatinya. Atau ketika seseorang anak berlutut di depan kedua orangtuanya pada saat-saat penting seperti pernikahan, hari-hari besar keagamaan. Bukankah kita juga melihat hampir semua penganut agama di Indonesia mempunyai ritual keagamaan untuk menyembah Pencipta dengan berlutut (bersujud). Sebagai tanda betapa agung, mulia, kudus Sang Pencipta. Sementara umat-Nya adalah makhluk yang menyadari dirinya sangat kecil dan tiada berarti dibanding Sang Pencipta.

        Berbeda dengan kondisi di atas, saya teringat dengan pengalaman sewaktu bergereja di satu tempat. Saat itu, pendeta yang sedang khotbah menegur para wanita yang sedang datang ke gereja waktu itu. Teguran itu ditujukan kepada para wanita yang memakai rok mini alias rok yang panjangnya tidak sampai ke lutut. Saya memang melihat diantara sekian wanita yang datang dalam kebaktian saat itu, mereka memakai rok mini. Dan beberapa di antara mereka duduk di bagian paling depan. Tentunya hal itu mengganggu konsentrasi pak pendeta yang sedang berkhotbah. Karena iblis akan memakai apa saja supaya firman Tuhan tidak dinyatakan dengan baik dan benar sesuai kehendak Tuhan. Pendeta itu menghimbau agar minggu-minggu berikutnya, para wanita yang menghadiri kebaktian di gereja itu harus memakai rok yang panjangnya di bawah lutut.

        Seorang hamba Tuhan pernah bercerita tentang pergumulannya di awal pelayanan. Pada saat itu, ia  ditempatkan di daerah pedalaman Sulawesi. “Di desa tersebut belum masuk listrik,” imbuhnya kepada saya saat itu. Ketika pelayanannya mulai masuk bulan ke 2, ia merasa kalau pelayanannya menjadi tidak efektif dan iapun merasa sendirian. Memasuki bulan ketiga dalam pelayanannya,, ia bermaksud untuk segera meninggalkan tempat pelayanannya tersebut. Namun, ketika 1 minggu lagi rencana pulang akan dilaksanakannya, ia merenungkan kitab Efesus 3:14-21. Lewat renungan itu, hamba Tuhan tersebut ditegur Tuhan sekaligus dikuatkan dalam menjalankan pelayanannya. Hamba Tuhan tersebut menjelaskan, sejak itu, ia memulai suatu pelayanan yang disebutnya “A kneel ministry.” Yaitu suatu pelayanan yang selalu dimulai dengan doa, dikuatkan dengan doa, diteguhkan dengan doa, dan diakhiri dengan doa. Ia mengaku, sebelum ditegur Tuhan lewat nats dari Efesus tersebut, ia hanya berdoa hanya ‘sekedarnya.’ Artinya doa yang dilaksanakan tanpa kesungguhan hati dan pikiran serta totalitas diri. “Saya meremehkan doa pada saat itu,” tegas dia kepada saya.

        A kneel ministry merupakan cerminan yang dilakukan Paulus ketika ia dalam pelayanan. Ketika ada masalah yang menjadi pergumulan, ketika ada putusan yang harus diambil, ketika mempertimbangkan sesuatu, atau apapun juga, Paulus menekuk lututnya di hadapan Tuhan.  Ia bersujud kepada Tuhan agar jemaat yang dilayaninya dapat kuat, berakar dalam Tuhan. Semakin dapat memahami kasih Tuhan yang begitu besar kepada orang percaya serta dipenuhi oleh kepenuhan Allah dan mengalami kemuliaan Allah. Sehingga, apapun tantangan yang jemaat Efesus alami nantinya (seperti menghadapi ajaran palsu seperti yang ditulis dalam Kisah para rasul 20:28-30) tidak membuat mereka mundur dalam imannya. Demikian juga, lewat a kneel ministry tersebut, Paulus mendapat kekuatan dalam menghadapi berbagai kesesakan, penderitaan yang dihadapinya dalam pelayanan.

Dari berbagai di atas, saya tergerak untuk membuka Alkitab untuk mencari apakah ada ayat-ayat yang berbicara tentang lutut. Saya menemukan beberapa, seperti dalam Mazmur 95:6 yang menggambarkan sikap berlutut merupakan sikap menyembah kepada Tuhan. Selaras dengan itu, Daniel melakukan doanya dari tempat tinggalnya dengan menghadap ke Yerusalem sambil berlutut tiga kali sehari kepada Allah (Daniel 6:11). Bahkan Tuhan Yesus dalam Lukas 22:41 memperlihatkan sikap hormat Tuhan Yesus kepada Bapa di sorga dengan sikap berlutut ketika Yesus berdoa kepada Bapa di sorga (Luk.22:41).  Namun, ada juga ayat yang mencatat kalau lutut yang goyah itu merupakan gambaran tentang orang-orang yang sedang ketakutan dan tak berdaya (Ibrani 12:12).

Terdorong dari firman Tuhan dan kesaksian hamba Tuhan itu, saya teringat berapa kali saya merasakan sakit lutut akibat berdoa. Meskipun orang berdoa tidak harus berlutut, namun dalam konteks kekristenan, sikap berlutut seringkali dikaitkan dengan doa. Bahkan tidak jarang kita mendengar istilah Kristen lutut yang artinya orang Kristen yang suka berdoa. Saya kembali membuka Alkitab dari Kisah Rasul 8:54-60. Dari perikop yang saya baca tentang kesaksian terakhir Stefanus sebelum ia menjadi martir, terlihat dalam ayat 60 sebelum ia meninggal, ia masih menyempatkan diri untuk berlutut dan berdoa meminta kepada Tuhan agar tidak menanggungkan dosa orang-orang yang melempari dia dengan batu. Saya sempat berpikir betapa sakitnya tubuh Stefanus saat dia dilempari batu oleh orang-orang Yahudi. Namun, rasa sakit dan di tengah menghadapi bayangan maut, Stefanus tidak surut semangat dan kerinduannya untuk berdoa. Bahkan mendoakan untuk orang-orang yang membunuhnya. Stefanus tahu bahwa doa itulah yang menjadi senjatanya yang harus terus menerus dipakai dalam menghadapi musuh yaitu iblis.

Benar-benar suatu ajaran dan teguran Tuhan bagi kita semua yang mengaku sebagai orang percaya. Bukankah kita sering akui kalau lutut kita ini (termasuk saya tentunya, -red) sering sakit hanya karena berbagai aktivitas duniawi seperti keseleo karena olah raga, terbentur, sakit karena sudah menua, atau sakit karena badan yang sudah mulai kegemukan? Tuhan mengajarkan kepada kita kalau Dia ingin agar setiap kita menjadi anak-anak-Nya yang suka berkomunikasi dengan-Nya sebagaimana yang dilakukan Yesus selama berinkarnasi di dunia. Dalam doa yang kita lakukan itu, memang selayaknya tubuh kita menunjukkan kondisi hati yang begitu merasa kecil dan tidak layak di hadapan Tuhan yaitu dengan berlutut.

Melalui doa itu, kita meminta kepada Tuhan agar kita dapat diberi petunjuk, kekuatan dan kemampuan untuk dapat menjadi alat di tangan-Nya. Jadi alat untuk apa? Alat Tuhan untuk memperhatikan lutut-lutut siapa saja yang sedang goyah, gemetar karena hidupnya sedang dalam ketakutan oleh bermacam-macam tekanan dan penderitaan dunia ini. Kita harus mewartakan bagi mereka tentang kuasa dan kasih Tuhan Yesus yang begitu luar biasa. Kita dapat menceritakan tentang hidup kita yang sudah diubahkan oleh pengorbanan-Nya. Jadi, mulai sekarang jangan hanya memperhatikan lutut sendiri ya....Soli Deo Gloria