Kaki yang terlupakan



Saya pernah ditanya sebuah pertanyaan yang menggelitik. Yaitu : "Anggota tubuh  mana yang jarang saya pedulikan?"� Untuk beberapa saat saya berpikir pertanyaan itu penting atau tidak. Tapi akhirnya saya menganggap pertanyaan itu penting karena mengingatkan saya bahwa saya memiliki anggota tubuh tersebut walau kurang diperdulikan atau diperhatikan.  Saudara tahu apa jawaban saya untuk pertanyaan di atas? Jawaban saya adalah kaki. Mungkin sebagian dari kita juga memilih jawaban yang sama dengan saya ketika pertanyaan di atas diajukan. Atau malah kita sudah merasa risih  ketika membaca judul di atas. Itukan hal yang kurang pantas alias menjijikkan.

                Saya punya pengalaman yang kurang mengenakkan. Ketika itu, saya bertamu ke tempat seseorang. Di sana, sebagaimana adat Indonesia, saya membuka sandal sebelum masuk ke dalam rumah. Untuk beberapa saat, saya melihat tuan rumah sedang memandangi kaki saya dengan pandangan mengernyit. Entah apa maksudnya. Tapi dalam hati saya merasa tidak enak. Karena saya menyadari kaki saya saat itu menghitam karena memang kena debu setelah seharian mengenderai motor di Jakarta. Atau mungkin saja, orang tersebut menganggap kalau saya sebenarnya orang yang jorok, atau mempunyai kaki yang bau atau orang miskin yang hanya sanggup membeli sandal itupun sandal jepit.

                Namun, dalam satu minggu yang telah berlalu, saya kembali diingatkan dengan persoalan kaki.  Saya mulai menyadari kaki menjadi anggota tubuh yang kurang diperhatikan karena ia memang terletak paling jauh dari kepala. Lagipula, ia selalu mendapat tempat yang tidak terhormat yaitu bertemu langsung dengan segala kotoran yang terinjak ketika berjalan (walau saya yakin- hampir semua kita selalu memakai alas kaki). Karena itu, tradisi Timur Tengah sampai saat ini menganggap kaki atau telapak kaki sebagai bagian yang tidak bersih sekaligus seseorang dianggap menghina orang lain jika secara terbuka memertontonkan telapak kakinya. 

Selain itu, kaki kita dapat menimbulkan bau yang tidak sedap jika selalu tertutup dan menjadi basah karena keringat. Kondisi itu menunjukkan perlakuan kita yang kurang terhadap kaki.  Perlakuan yang kurang itu, dapat mengingatkan kita kepada satu tindakan yang membudaya di negeri Cina yaitu mengikat kaki wanita. Tradisi ini terjadi karena adanya pandangan masyarakat bahwa wanita harus berkaki kecil sebagai bagian dari kecantikannya. Tradisi ini sudah ditemukan sejak zaman dinasti Song dan berakhir ketika jatuhnya dinasti Qing dan berdirinya Republik Cina tahun 1911. Walau sampai tahun 1950 di beberapa desa terpencil di Yunnan, kaum wanitanya masih mempraktekkan hal itu.

Biasanya, kita akan memerdulikan kaki tersebut jika kaki tersebut mengalami luka, atau hal-hal lainnya yang membuat kita tidak dapat berjalan sebagaimana seharusnya seperti bergerak dengan cepat, atau bahkan berlari. Dan membuat berbagai hambatan dari sebagian besar aktivitas kita. Atau malah membuat kita menjadi seseorang yang tertekan. Seperti seorang bapak yang pernah saya jumpai,  dia merasa sangat tertekan karena kakinya akan diamputasi akibat efek penyakit tertentu. Tapi, jika kita tidak mempunyai masalah dengan kaki itu, pada umumnya kita akan kembali lagi kurang peduli terhadapnya. Kecuali kita melihat kuku kaki kita sudah perlu digunting. Atau sekelompok wanita yang suka merawat kuku dan kakinya di salon. 

Ya, minggu yang lalu, saya membaca Alkitab dan ternyata betapa Allah perduli terhadap kaki manusia.  Ketika peristiwa eksodus dari Mesir ke tanah perjanjian, Allah terus memberkati kaki bangsa Israel sehingga kaki mereka tidak bengkak selama perjalanan 40 tahun (Ulangan 8:4). Bahkan menjelang kematian-Nya, Tuhan Yesus rela merendahkan diri untuk membasuh kaki para murid-Nya (Yohanes 13:4-15). Sebagai satu simbol bahwa para murid hanya dapat bagian dalam Yesus jika sudah dibasuh oleh-Nya. Demkian juga, untuk menunjukkan cinta kasihnya kepada Tuhan Yesus, Maria saudari Marta dan Lazarus meminyaki kaki Yesus dengan minyak mur dan menyeka kaki itu dengan rambutnya (Yohanes 12:3). Dan Allah memberikan firman-Nya kepada kita orang percaya sebagai pelita bagi kaki kita (Mazmur 119:105). Sehingga kita tidak masuk ke jalan yang sesat. 

Beberapa peristiwa yang saya baca tersebut membuat saya berpikir ulang tentang kaki. Bukan maksudnya untuk mengagung-agungkan kaki. Tetapi ada beberapa sikap yang harus berubah terkait dengan peristiwa yang berkaitan dengan kaki dalam Alkitab. Jika Tuhan menunjukkan kepedulian terhadap kaki anak-anak-Nya, mengapa kita tidak perduli terhadap kaki itu? Ah, mana mungkin saya harus capek-capek untuk memperhatikan kaki? Mungkin seperti ini jawaban kita. Tapi kepedulian yang seharusnya kita lakukan terhadap kaki kita adalah kepedulian yang sesuai dengan kehendak Allah. 

Saya akan mengajukan pertanyaan pada kita sebagai refleksi tentang kepedulian yang harus kita berikan kepada kaki kita. Apakah kita sudah cukup menghargai seluruh anggota tubuh kita? Karena kita harus menyadari bahwa penghargaan itu terkait dengan firman yang menyatakan bahwa tubuh kita adalah Bait Allah. Apakah kita pernah dan mau merendahkan hati dan diri kita terhadap Tuhan dan sesama? Apakah kita mau mencuci kaki saudara kita yang lain? Cuci kaki merupakan ritual yang ada di gereja Katolik, sementara gereja Protestan tidak pernah ada ritual seperti itu. Apakah dalam pelayanan malah kita milih-milih, maunya pelayanan yang enak dan membuat nyaman kita. Bukankah cuci kaki juga teladan yang diberi Yesus untuk melayani tanpa pandang bulu? Seberapa sering kita duduk diam di "dekat kaki Yesus"� seperti yang dilakukan Maria (Lukas 10:39) untuk mendengar, menerima firman yang kita butuhkan dalam perjalanan hidup kita sehari-hari? Seberapa sering kita mengabaikan "pelita"� yang Tuhan berikan untuk menerangi jalan kehidupan kita? 

Apakah kalau sedang dalam pergumulan berat, kita datang ke pada kaki Yesus dan menangis membasahi "kaki-Nya"� dengan air mata kita dan menyeka dengan rambut kita seperti yang dilakukan Maria waktu itu? Kita melakukannya untuk meminta kekuatan dan penghiburan dari Pribadi yang selalu menunggu kita untuk menerima dan memikul kuk-Nya yang ringan. Atau, sudahkah kita memakai "kasut kerelaan" untuk memberitakan Injil kepada orang lain (banding Efesus 6:15)? Dalam hal ini, saya berpikir kalau kasut kerelaan itu belum pernah kita pakai, maka berarti kaki kita seperti kaki bayi yang belum dapat berjalan. Ya, hanya bayi yang belum berjalanlah yang tidak perlu pakai kasut/sepatu. Sedangkan kita yang sudah dewasa membutuhkan sandal, sepatu/kasut untuk berjalan. Apakah kita masih tergolong bayi rohani atau tidak? Itu dapat diukur dari kemauan, kemampuan dan kerelaan memberitakan Injil.  

Tangerang, 28 Januari 2011