Pada mulanya adalah aku


      Beberapa waktu lalu, koran Kompas menuliskan satu artikel yang berjudul "Manusia serakah, harimaupun menjadi marah." Artikel itu menjelaskan mengapa di daerah Riau, Sumatera Selatan dan Jambi telah terjadi beberapa serangan harimau kepada manusia. Setidaknya ada 9 orang penduduk desa setempat tewas diterkam oleh si raja hutan (Kompas, 12 Maret 2009, hal.1). Jika kita telisik peristiwa itu, maka terlihat penyebab awal harimau menerkam manusia. Dr. Ligaya Tumbelaka seorang dokter hewan dan pencatat silsilah harimau Sumatra mengatakan, harimau menjadi ganas ketika ia terdesak oleh situasi dan ketika ia sedang lapar. Si raja hutan telah kehilangan habitatnya, sekaligus telah kehilangan sumber makanannya. sehingga ia masuk ke daerah hunian manusia. 

      Aneh tapi nyata. Ini merupakan ungkapan yang pantas untuk menggambarkan peristiwa di atas. Pada mulanya, manusia (aku) yang mengganggu, merusak, memporak-porandakan habitat si raja hutan atau memburunya. Alasannya tentu banyak. Mulai alasan yang masuk akal sampai alasan yang manipulatif. Antara lain, makin bertambahnya jumlah penduduk sehingga memerlukan daerah yang lebih luas lagi untuk tempat tinggal. Sampai kepada alasan untuk menambah devisa negara dengan menebangi pohon-pohon sekaligus menggundulkan daerah hutan yang merupakan habitat harimau. Tak heran  kalau si raja hutan menjadi marah, manusia pun ketakutan.

      Keanehan pun terjadi di kehidupan manusia. Lihat saja, menjelang pemilu legislatif 9 April 2009 yang lalu, banyak sekali janji, ungkapan yang indah tertempel atau tergantung entah di jalan raya, di pohon-pohon, tembok atau pagar rumah, koran, televisi beserta wajah-wajah yang kebanyakan asing bagi kebanyakan masyarakat. Bila kita simpulkan dari hasil pemilu itu, rakyat ada yang termakan janji, jumlahnya tidak sedikit. Dan kita mengetahui banyak sekali masalah yang muncul dalam negara dan bangsa ini yang bermuara dari tindakan para wakil rakyat yang telah terpilih itu. Mungkin, mereka lupa  pada mulanya sebelum menjabat, mereka telah mengucapkan sumpah jabatan. Serta mereka mungkin lupa pada mulanya mereka telah mengumbar janji yang manis bagi masyarakat pemilihnya (konstituen). Tapi pada akhirnya yang muncul adalah aku atau ego yang hendak dipuaskan namun tidak pernah terpuaskan. Sampai terpikir, bagaimana caranya membuat para wakil rakyat, para pejabat pemerintahan agar dapat puas dalam memenuhi ego mereka.  

     Dalam Alkitab juga terlihat masalah tersebut. Pada mulanya manusia mendapat tempat yang sangat ideal yaitu Taman Eden (Kejadian 2:15). Suatu tempat pertemuan (meeting point) antara Tuhan dengan manusia. Namun, pada akhirnya manusia itu terusir dari sana. Akibat dari ego yang ingin mengimbangi Tuhan.  Keakuan yang tidak terpuaskan dengan kondisi yang luar biasa di Eden itu. Dan ketika sudah jatuh dalam dosa dan terkena efek dosa itu yaitu kehidupan yang menderita, giliran manusia dengan keakuannya  berteriak-teriak minta  tolong kepada Tuhan. Contoh lain adalah dari perjalanan bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir. Pada mulanya, mereka mau keluar dengan sukarela dan di bawah pimpinan Tuhan lewat tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari (Bilangan 14:14).  Namun ketika realita bertabrakan dengan keakuan dari bangsa Israel, maka terjadi pemberontakan terhadap Tuhan . Salah satunya pada saat mereka merasa akan mati kelaparan. Mereka memberontak dan malah hendak pulang kembali ke tanah Mesir. Lalu Tuhan mendatangkan burung puyuh bagi mereka dan kemudian menurunkan manna yaitu roti dari sorga (Bilangan 11). Tapi tetap saja hal itupun tidak memuaskan keakuan bangsa tersebut karena setelah itupun mereka tetap memberontak kepada Tuhan (Bilangan 14).

     Ternyata, keanehan dalam hidup inipun terjadi pada keluarga orang percaya. Pada mulanya, rasa cinta dan sayang kepada pacar  yang kemudian menjadi pasangan hidup (menikah) begitu besar. Seiring perjalanan waktu, rasa cinta dan sayang itu tinggal menjadi kenangan saja. Sebab, tanpa disiplin dan usaha yang memadai untuk terus  memupuk rasa cinta dan sayang itu, hubungan yang dulunya diawali dengan kata 'tanpa kau disampingku rasanya hidupku begitu sepinya' kini tinggal kenangan saja. Semuanya berubah 180 derajat. Rasanya hati dan kepala menjadi panas dan pusing ketika melihat pasangan hidup. Mulailah hubungan suami-istri menjadi tidak harmonis. Segala-galanya dipandang dengan persepsi negatif. Dan akhirnya cerai merupakan kondisi yang didambakan dan diusahakan untuk terwujud. Tahukah anda permohonan pengajuan cerai antara orang Kristen di pengadilan meningkat tajam dibandingkan 5 tahun yang lalu?

      Hanya saja, kondisi yang aneh akibat keinginan pemuasan ego itu tidak stagnan seperti menabrak tembok. Karena kasih Allah yang begitu dalam, panjang, lebar, luas dan mengatasi pikiran manusia (Efesus 3:18-19) telah membuat jalan keluar untuk keanehan ego manusia. Dia damaikan diri-Nya dengan kita lewat karya Yesus Kristus di kayu salib (2 Korintus 5:19). Ia adalah Anak Allah yang mengosongkan diri dan mengambil sosok seorang hamba (Filipi 2:7) demi melaksanakan dan menuntaskan tugas dari Bapa. Ia tidak mengedepankan keakuan-Nya. Inilah yang menjadi titik balik bagi kita untuk berjuang dan menang atas keinginan pemuasan ego diri sendiri yang tidak pernah puas itu akibat dosa. Mari, kita meneladani Yesus Kristus salah satunya dengan tidak mengedepankan ego masing-masing dengan satu prinsip : "Pada mulanya Allah menciptakan kita untuk selalu memuliakan-Nya dalam segenap hidup kita."  Apalagi kalau kita sebagai orang percaya yang sudah punya pimpinan Roh Kudus. Taat akan pimpinan Roh Kudus akan membuat kita tampil sebagai pemenang.