Rabu, 20 April 2011

Disiplin Bagi Anggota Gereja (I Korintus 5:1-13)


Disiplin Gereja mungkin adalah salah satu istilah dalam kekristenan yang jarang sekali didengar dan dibahas di dalam mimbar kebaktian umum di gereja. Salah satu buktinya adalah banyak yang tidak mengetahui entah itu pihak majelis, ataupun penatalayan jika ada seorang jemaat yang melakukan kesalahan, maka disiplin dari gerejanya seperti apa. Mengapa terjadi demikian? Alasannya banyak, tetapi dapat kita sebutkan beberapa di antaranya. Misalnya, mungkin saja tentang disiplin gereja yang terkait dengan hukuman gereja adalah hal yang sensitif karena berhubungan dengan kesalahan atau dosa yang dilakukan jemaat sebagai orang percaya. Atau juga, kebanyakan menganggap gereja seharusnya penuh dengan kasih, sehingga jika diadakan disiplin atau hukuman gereja, menjadi suatu hal yang bertentangan dengan kasih Kristus. Apalagi dilihat disiplin atau hukuman itu dari perspektif menghakimi. Dengan demikian, jika ada seseorang yang melakukan kesalahan dan hendak didisiplin oleh gereja, maka sebagian menganggap pelaksana disiplin itu juga orang yang berdosa. Maka apakah orang berdosa boleh menghukum, mendisiplin orang berdosa lainnya?  Maka seharusnya disiplin itu tidak boleh diadakan. Ada juga yang menganggap jika disiplin itu dijalankan akan berdampak buruk kepada perkembangan gereja yaitu dengan keluarnya orang yang didisiplinkan tersebut beserta dengan keluarganya.
 
Tak ayal, dengan konsep pemikiran seperti itu, banyak gereja yang sudah tidak lagi melaksanakan disiplin gereja dengan teguh. Gereja tidak lagi tajam dalam mengawasi, menegus dan membimbing anggota gereja yang berdosa untuk kembali bertobat dan kembali pada Tuhan. Mungkin saja, masih banyak gereja yang berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan firman Tuhan, menyampaikan firman Tuhan dengan baik, membuat program-program  yang menunjukkan kasih Tuhan dan mempermuliakan Tuhan. Tapi, sebenarnya jika gereja tidak melaksanakan disiplin gereja, maka gereja itu akan menjadi gereja yang lama kelamaan kompromi dengan dosa-dosa. Menurut John Calvin—di dalam bukunya yang berjudul: Institutes of the Christian Religion—selain gereja memiliki kuasa untuk pengajaran dan membuat peraturan, gereja juga memiliki kuasa untuk menjalankan disiplin (peradilan/jurisdiction).  

Sebenarnya, kata disiplin itu terdapat dalam Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru. Dalam PL, kata disiplin berasal dari kata musar yang berarti hukuman, koreksi, disiplin dan pengajaran. Sedangkan dalam PB, kata disiplin berasal dari kata “paideia” yang berarti latihan, pengajaran dan disiplin. Kata musar dapat dilihat dari Hosea 7:12 ; 10:10  yang menggambarkan karena bangsa Israel melawan Allah, maka Allah mendisiplinkan umat-Nya dengan menjatuhkan hukuman agar bangsa itu kembali kepada Allah. Sedangkan dalam PB, dapat dilihat dalam Ibr.12:5, 7-9, 11 yang semuanya mengajarkan bahwa pengajaran yang efektif didalamnya harus ada unsur disiplin dan koreksi. Kita diperhadapkan kenyataan bahwa disiplin Bapa di sorga dapat dibandingkan dengan didikan seorang ayah kepada anaknya agar anaknya tetap pada jalurnya. Terlebih lagi Allah sebagai Bapa, akan mampu memberi disiplin yang tepat kepada anak-anaknya yang selalu ingin melenceng dari kehendak Bapa. Tentunya disiplin yang diterima seseorang karena perbuatannya dapat melalui perkataan, peringatan atau teguran (2 Timotius 2:25) atau melalui penderitaan, bencana (I Korintus 5:5). 

Poin-poin: 

1.     Disiplin gereja merupakan tindakan yang alkitabiah
Walau bagi sebagian orang, disiplin gereja menjadi hal yang berat untuk dilakukan, jika mereka mempunyai beberapa alasan seperti diterangkan di atas, maka sebenarnya, disiplin itu merupakan bagian penting dari aturan gereja. Seperti yang kita perhatikan dalam perikop ini, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa perlu diadakan suatu hukuman atas orang yang telah bersalah terhadap firman Tuhan  (ay.3). Bahkan ia menyarankan agar orang yang bersalah terhadap firman Tuhan itu harus diserahkan kepada iblis (ay.5) serta kalau memang diperlukan dapat melakukan pengusiran terhadap pelaku kejahatan (ay.13). Apakah Paulus mempunyai dasar untuk melakukan hal-hal seperti yang disebutkan dalam firman ini? 

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, bahwa pendisiplinan merupakan tindakan Tuhan kepada umat-Nya. Dan, Tuhan Yesus sendiri memberikan otoritas kepada gereja-Nya dalam Matius 18:15-18, untuk mengambil tindakan disiplin sesuai dengan kebutuhan yang ada. Demikian juga, Yohanes 20:23 memperkuat otoritas gereja dalam pelaksanaan disiplin tersebut. Ayat tersebut berkata : “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya akan diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Selain itu, Paulus juga melakukannya karena melihat disiplin tersebut menjadi suatu yang penting bagi kesehatan gereja.

Dengan melihat rekam jejak dari kehidupan Paulus, dia adalah seorang rasul yang diangkat oleh Tuhan Yesus. Dan Paulus sering mengatakan kalau dia belajar dari Tuhan Yesus sendiri. Sehingga, disiplin yang dianjurkan oleh Paulus kepada gereja Korintus bukanlah berdasarkan emosinya belaka. Tetapi ia pasti tahu, Tuhan sewaktu berinkarnasi di dunia juga menghendaki adanya disiplin terhadap orang percaya. Dari apa yang terjadi pada diri Paulus sebagai rasul dan perintah Tuhan yang dapat kita baca dari Alkitab ini, disiplin gereja bukanlah sesuatu yang tidak berdasar. Melainkan suatu tindakan yang berdasar kehendak Tuhan bagi setiap gereja Tuhan. Jadi disiplin gereja harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap gereja yang mendasarkan dirinya atas Alkitab. Disiplin gereja bukan sekedar pilihan untuk dilakukan. Namun, merupakan mandat Tuhan bagi gereja-Nya.

Melalui pengertian ini, maka semua pemikiran, perasaan yang sering terdapat dalam gereja yang berusaha menyimpulkan kalau disiplin gereja itu kurang perlu dan tidak patut dilakukan dalam konteks kasih Kristus adalah salah.   Justru kalau ada gereja yang tidak mau melakukan disiplin bagi anggota gerejanya berarti menghambat pertumbuhan kerohanian bagi seluruh jemaatnya. Dan akibatnya, gereja itu tidak bertumbuh. Sebab disiplin sebagai mandat Tuhan, maka setiap gereja harus melakukannya. Tidak bisa tidak! Selain itu, Tuhan selalu menunjukkan kasih-Nya itu selalu berdampingan dengan murka, hukuman atau disiplin Tuhan. Ibarat koin dengan dua sisi yang tidak dapat terpisah, kasih Allah selalu berdampingan dengan disiplin dari Tuhan. Tuhan yang penuh dengan kasih, Ia tidak ingin jangan ada manusia  yang binasa, tetapi semua orang berbalik dan bertobat (2 Petrus 3:9). Namun, Ia juga tidak ingin diri-Nya dipermainkan oleh manusia (Galatia 6:7). 

2.     Disiplin gereja mencegah dosa menjangkiti seluruh jemaat
Dalam ay.6-8 Paulus menuliskan tentang ragi. Alkitab menyatakan bahwa ragi merupakan lambang dari dosa. Sedangkan adonan roti merupakan jemaat baik secara pribadi maupun keseluruhan. Paulus tidak menghendaki terjadinya perusakan (pengkhamiran) adonan roti oleh ragi, walaupun raginya hanya sedikit.  Sebagai orang percaya kepada Kristus (orang yang sudah dimurnikan dan dibenarkan yang dilambangkan sebagai roti yang tidak beragi), maka kuasa kemenangan atas dosa yang telah dilakukan Tuhan Yesus atas maut harus berlaku juga bagi setiap orang percaya. Memang, manusia masih hidup dalam daging yang berdosa. Namun, kuasa kemenangan yang telah kita peroleh dari Tuhan Yesus dapat kita wujudkan dalam hidup kita. 

Sebab itu, Paulus menganalogikannya dengan kalimat : “ragi yang ada itu harus dibuang sesegera mungkin sebelum merusak keseluruhan adonan roti.”  Inilah yang menjadi tugas bagi setiap orang percaya. Sebab, kita tahu karya Tuhan Yesus di kayu salib adalah untuk menyelamatkan orang percaya dari hukuman maut. Supaya sebagai mempelai Kristus, gereja dapat menjaga dirinya dari segala hal yang mencemarkan. Sehingga ketika mempelai pria datang yaitu Kristus, gereja tetap dalam kemurniannya (Efesus 5:25-27). Dengan demikian akan terjadi pembedaan antara orang percaya dengan orang dunia (ay.1). Untuk itu, Paulus menyarankan agar orang percaya jangan sampai bergaul akrab kepada orang-orang berdosa secara terang-terangan yang ada di dalam gereja (ay.11). Hal itu sesuai dengan tulisan Paulus dalam I Korintus 15:33 : “Pergauluan yang buruk merusak kebiasaan yang baik.”

Maka, salah satu cara agar pergaulan antara orang-orang pelaku dosa itu (disebutkan dalam ayat 11 sebagai orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu) dengan jemaat lainnya yang hidup dalam ketaatan kepada firman Tuhan adalah dengan cara mengadakan disiplin bagi mereka. Disiplin gereja yang disarankan Paulus kepada orang yang sudah bersalah terhadap firman Tuhan adalah dengan cara menyerahkan diri orang tersebut kepada iblis sehingga tubuhnya binasa, namun rohnya dapat diselamatkan di hari Tuhan (ay.5). Kalimat ini sangat keras dan dapat disalah mengerti. 

Supaya tidak salah mengerti, maka kita harus melihat dari ayat 1. Ayat itu dibuka dengan kalimat :”Memang orang mendengar...” Dalam bahasa Inggrisnya ditulis dengan kalimat : “It is reported commonly.” Kalimat ini mempunyai bentuk present tense yang mengindikasikan kalau perbuatan cabul (hidup dengan istri ayahnya) merupakan tindakan yang terus menerus dan sudah menjadi rahasia umum. Bahkan orang tersebut disebut sebagai sombong (ay.2). Berarti orang tersebut bersikap bangga dengan percabulannya tersebut.  Untuk itu, Paulus melihat orang cabul tersebut tidak pantas lagi untuk berada di tengah-tengah jemaat Kristus.  

Hukuman atau disiplin yang dianjurkan Paulus adalah dengan cara mengeluarkan orang berdosa tersebut dari jemaat. Sikap ini diperkuat dengan kalimat Paulus dalam ayat13 yaitu : “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.” Pengusiran ini berarti orang tersebut tidak lagi mendapat tempat untuk menerima pelayanan gereja secara umum, tidak menikmati persekutuan dengan saudara seiman. Berarti orang tersebut masuk kembali ke dunia (dunia adalah dibawah kuasa iblis). Sehingga orang tersebut terpisah dari gereja yang menjadi alat Tuhan untuk memberi dan menyatakan kasih karunia. Menurut seorang penafsir, jika orang sudah dikeluarkan dari persekutuan orang percaya, pada zaman rasul tersebut masih berlaku hukuman fisik yang menimpa orang tersebut. Dapat saja berupa sakit fisik yang parah (dapat dimengerti jika selalu melakukan perbuatan cabul maka akan dapat penyakit kelamin yang pada saat itu dapat mematikan). Dan diharapkan, ketika penyakit berat itu datang membuat orang tersebut mengalami kesedihan rohani dan menggiringnya kepada pertobatan. Seperti yang pernah terjadi, salah satu pesohor di Indonesia, sebelum dia jatuh sakit karena AIDS, hidupnya sebagai homoseksual (salah satu dosa yang dikutuk oleh Alkitab). Setelah ia dinyatakan terkena sakit yang mematikan itu, akhirnya ia sadar untuk bertobat datang kepada Tuhan.  Sehingga fisiknya boleh binasa, tetapi rohnya atau jiwanya dapat diselamatkan karena pertobatan.

Dosa sedemikian berisikonya bagi setiap manusia sehingga dosa itu dapat digambarkan bersifat seperti kanker yang merambat dan semakin membesar. Jika ada peluang dan kesempatan perkembangan dosa akan menjadi cepat dan membesar. Dengan mengeluarkan orang-orang yang berdosa tersebut, Paulus melihat  jemaat Korintus yang masih cinta Tuhan dapat terhindar dari pengkhamiran dari ragi tersebut. 

Ilustrasi : saya pernah lihat di televisi acara National Geographic tentang seorang pria di India. Pria ini sedang pulang dari ladang menuju rumahnya melalui sebuah jalan setapak. Di jalan, dia bertemu dengan seekor ular king kobra yang cukup besar. Ular ini sangat berbisa. Ketika pria ini hendak mengusir ular itu supaya dia dapat melewati jalan itu, tiba-tiba ular itu menyambar dan sempat menggigit cuping hidungnya. Di tengah keterkejutan dan rasa sakit yang dideritanya, pria itu sadar ia harus mengambil keputusan yang segera. Untuk berlari ke rumah dan mencari pertolongan di rumah sakit terdekat, akan menjadi terlambat bagi dia. Sebab itu, dia ambil pisau yang dibawanya, dan langsung memotong hidungnya. Dalam acara tersebut disebutkan, bahwa kehilangan sebagian dari hidungnya justru akan menyelamatkan nyawanya dari kematian akibat bisa dari ular king kobra tersebut. Seperti inilah yang menggambarkan betapa bahayanya dosa jika tidak sesegera mungkin ditanggalkan dalam hidup manusia, diusir dari kehidupan jemaat Tuhan. 

3.     Disiplin gereja sebagai alat untuk menegur dan menyadarkan seseorang akan dosanya
Dari  perikop ini terlihat bahwa disiplin juga dapat sebagai alat untuk menegur seseorang serta menyadarkan dirinya akan kesalahan yang telah diperbuatnya. Karena sering manusia jika sudah berbuat dosa lebih mau menyembunyikan sejauh mungkin dari orang-orang sekitarnya. Caranya bermacam-macam. Misalnya  seorang koruptor, dia pasti tidak ingin diketahui dari mana asal duit atau harta yang melimpah miliknya. Secara umum, koruptor ingin mencuci uangnya agar kelihatan uang atau harta yang dikorupsinya itu bukan diperoleh dengan cara yang ilegal. Maka biasanya para koruptor banyak membuat berbagai perusahaan dan menjalannya sedemikian rupa. Sehingga orang tidak menyangka kalau harta yang diperolehnya bukanlah hasil ilegal, tetapi dari hasil usaha yang benar. Demikian juga di dalam gereja, orang tersebut ingin menyembunyikan tindakan ilegalnya. Dan biasanya orang-orang seperti koruptor akan memberikan sumbangan yang jumlahnya cukup banyak atau dengan intensitas yang sering. 

Dosa jika tidak diingatkan, pelakunya di tegur akan dosanya, maka ia akan tetap tinggal dalam dosanya. Justru dosa itu akan semakin mencengkram manusia. Tuhan Yesus mengatakan dengan tegas dalam Lukas 17:3 agar kita menegor saudara yang berbuat dosa. Penegoran merupakan hal yang wajib untuk dilakukan oleh setiap orang percaya kepada orang percaya lainnya. Demikian juga, setiap orang percaya haruslah mau menerima teguran. Karena teguran merupakan bukti kasih dari orang percaya kepada orang percaya lainnya. Teguran itu harus keluar dari hati yang tidak ingin melihat saudaranya menjadi celaka akibat dosa. 

Dalam teguran tersebut seperti yang diungkapkan Tuhan Yesus dalam dalam Matius 18:15-18 haruslah mengarahkan orang tersebut kepada satu kesadaran untuk bertobat. Dalam ayat-ayat Matius tersebut, ada tahapan-tahapan yang dilakukan untuk menegur orang yang bersalah. Ada teguran empat mata. Hal ini dilakukan agar orang yang ditegur dapat terjaga privasinya. Tapi kalau masih tetap bersikeras untuk melakukan dosanya atau tidak mau mengakuinya, maka perlu dipanggil beberapa orang saksi yang harus dipilih dari orang-orang yang berintegritas dan mempunyai sikap takut kepada Tuhan. Dalam teguran tahap kedua inipun, masih berusaha agar orang yang ditegur itu tetap terjaga privasinya (tidak dipermalukan). Sebab itu, orang yang ikut menjadi saksi haruslah orang yang tidak bocor mulut. 

Teguran tahap ketiga adalah teguran lanjutan jika orang yang ditegur tidak mau menerimanya. Sehingga hal itu diberitahukan kepada jemaat. Dalam konteks jemaat, dengan berbagai latar belakang dan talenta, diharapkan jemaat dapat memberi teguran dengan dengan berbagai variasi sesuai dengan talenta tiap jemaat. Dan ini merupakan disiplin yang sudah mengesampingkan privasi dari orang yang ditegur. Diharapkan apabila orang banyak yang memberi teguran akan membuat kesadaran akan dosa dan mau kembali bertobat. Kalau secara kemasyarakatan, berarti sama dengan memberi hukuman sosial. Hal ini sebenarnya cukup berat. Tetapi jika itupun tidak berhasil, maka Tuhan Yesus mengajarkan agar orang tersebut dianggap sebagai orang yang tidak mengenal Allah atau disamakan dengan pemungut cukai. Kondisi ini menggambarkan bahwa orang tersebut akan dikeluarkan dari tengah-tengah jemaat. Karena tidak mungkin untuk seorang yang tidak mengenal Tuhan dapat masuk ke dalam lingkup orang yang percaya kepada Tuhan. Ini sama dengan melakukan eks komunikasi di gereja-gereja masa kini. 

 Namun kita jangan sampai terjebak bahwa sikap untuk menganggap orang yang didisiplin dengan mengeluarkan orang tersebut dari tengah-tengah jemaat bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Tuhan Yesus pernah berkata bahwa Ia datang untuk menyelamatkan orang yang berdosa. Maka ayat itu  harus dimengerti sebagai tugas bagi orang percaya lainnya terutama untuk hamba-hamba Tuhan serta aktivis lainnya untuk mengadakan pendekatan dan  terus mewartakan kabar baik itu (Injil). 

4.     Disiplin gereja dilaksanakan agar nama Tuhan tidak dipermalukan
Dalam perikop I Korintus ini, beberapa kali Paulus menyebutkan pelaksanaan disiplin bagi anggota gereja itu berdasarkan nama Tuhan Yesus (ay.4,5,7). Pemakaian nama Tuhan Yesus menunjukkan dua hal yaitu : pelaksanaan disiplin itu bersumber dari mandat Tuhan sendiri. Kedua, pelaksanaan disiplin itu agar nama Tuhan tidak dipermalukan, dilecehkan. Dengan demikian, pelaksanaan disiplin itu berkaitan dengan mengajar kepada orang percaya untuk mempunyai kesadaran untuk memiliki cara hidup yang berbeda. 

Untuk itu, Paulus perlu menekankan tentang Tuhan Yesus yang telah disembelih sebagai Domba Paskah. Ini terkait dengan Paskah yang sebentar lagi kita akan rayakan. Apa arti Paskah bagi kita? Tentunya adalah kebangkitan Yesus Kristus setelah Ia masuk ke dalam dunia orang mati. Kebangkitan ini adalah kemenangan Tuhan Yesus atas maut. Setiap orang  yang percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat telah menerima keselamatan secara cuma-cuma. Keselamatan itu harus kita responi sesuai dengan kehendak Tuhan. Respons tersebut adalah kita harus hidup sesuai dengan firman Tuhan. Melalui hidup yang sesuai dengan firman, berarti kita sudah menunjukkan cinta kita kepada Yesus Kristus. Kita tidak mau menghianatinya, kita harus hidup dengan cara yang berbeda dari dunia ini. Sehingga menunjukkan betapa berharganya pengorbanan Tuhan Yesus. 

Satu hal yang perlu kita ingat, apabila kita kompromi dengan berbagai kesalahan yang dilakukan oleh jemaat dari suatu gereja, menunjukkan betapa kita lebih menghargai manusia daripada menghargai Tuhan. Dan dari banyak catatan Alkitab dan sejarah, membuktikan apabila seseorang, sekelompok orang, komunitas orang percaya, atau gereja sudah lebih mengutamakan manusia daripada menghargai Tuhan, maka Roh Tuhan akan pergi dari orang, atau gereja itu. Sehingga yang tinggal adalah kehancuran secara cepat atau perlahan dari kelompok atau gereja itu. 

Mengapa menegakkan disiplin gereja berarti kita menghargai Tuhan? Karena Tuhan adalah Pribadi yang tidak ingin memiliki kedekatan dengan dosa atau kesalahan. Dia adalah Pribadi yang kudus, sebab itu, Ia ingin kita sebagai umat-Nya juga menjaga kekudusan hidup. Tetapi jika kita  membiarkan seseorang bersalah, dan malah mendiamkannya, itu sama saja dengan membiarkan dosa berkembang biak dalam hidup seseorang dan membiarkannya akan menjalar kepada jemaat yang lain. Tindakan seperti inilah yang akan membuat orang akan menghina, melecehkan Tuhan yang kita sembah. Dan hal ini tidak boleh terjadi. 

Ilustrasi : saya suka mendengar apabila ada seseorang dipersalahkan karena sikapnya yang tidak sesuai dengan norma-norma agama ataupun adat istiadat masyarakat, maka orang tersebut akan dipergunjingkan. Pergunjingan itu tidak sebatas hanya kepada dirinya, tetapi disangkut pautkan dengan orangtuanya. Biasanya orang-orang akan berkata :”Apa orangtuamu tidak pernah mengajar kamu dengan hal-hal yang baik?” Atau “Apa kamu tidak sadar tindakanmu ini mempermalukan orangtuamu?”

Sama seperti itu, sebagai orang percaya atau dengan sebutan orang Kristen, apapun yang kita perbuat, dunia akan mengkaitkan perbuatan kita itu dengan Allah Bapa di sorga. Sebab kita ini adalah anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Karena itu, perlu kita melakukan pendisiplinan kepada setiap anggota gereja tanpa terkecuali, agar Tuhan yang kita sembah yaitu Allah Tritunggal tidak dipermalukan oleh kita..Amin.

Sabtu, 16 April 2011

Akhir kekuatanku, awal kekuatan Allah (2 Korintus 12:7-10)


Berbicara tentang ayat 2 Korintus 12:9 mengingatkan saya tentang satu pengalaman yang terjadi pada saya tahun 1996. Kala itu saya masih kuliah di I-3 Batu Malang, dan saya terkena sakit usus buntu dan harus dioperasi di rumah sakit Erkased Malang. Pasca operasi satu malam saya tidak bisa tidur karena merasa sakit sekali. Belum lagi ditambah rasa haus yang diakibatkan suntikan obat bius total selama operasi. Namun saya belum bisa diberi minum. Begitulah saya terus merintih kesakitan, sampai pada keesokan paginya. Kira-kira jam 7.30 pagi, sambil merintih kesakitan, saya melihat ada seorang ibu separuh baya masuk ke dalam ruangan kami. Karena saya dirawat dibangsal, ada 8 tempat tidur dalam ruangan itu. Saya melihat ibu tersebut mendekati satu persatu ranjang dalam ruangan kami. Sampai akhirnya dia sampai ke ranjang saya. Lalu saya mendengar suara lembutnya menyapa saya. Ia bertanya, mengapa saya merintih kesakitan. Saya menjelaskan kepadanya.

        Lalu dia bertanya kepada saya, apakah saya mau didoakan? Tentu, jawab saya. Tetapi sebelum dia berdoa, dia mengucapkan kalimat yang membuat saya terdiam. Dia mengutip ayat 2 Korintus 12:9 ini, dan ibu tersebut menambahkan, Yesus telah berkorban di kayu salib, dengan seperti menunjukkan kelemahannya bagi manusia. Tetapi justru kelemahan yang ditunjukkan Allah itu melalui Yesus Kristus, membuat orang percaya ditebus dari maut. Setelah dia berlalu, saya terus merenungi kalimat-kalimat yang disampaikannya itu, terutama ayat 9. Saya bersyukur bahwa dalam kelemahan, Allah pun memperdulikan saya. Dalam kelemahan, Allah mau menolong dengan memberikan kekuatan pada saya, yang penting saya tidak mengandalkan diri saya lagi. Hal itu akan terus saya ingat dalam kehidupan ini, dalam kelemahanlah kuasa Kristus menjadi sempurna.

Poin :
  1. Ketika kita meninggikan diri kita tidak mendapatkan kekuatan Allah
Dari awal sejarah manusia, dosa yang paling paling tua adalah kesombongan. Mengapa? Karena pada saat di taman Eden, Hawa ingin memetik dan memakan buah terlarang itu karena ia ingin sama dengan Allah. Artinya, ia tidak puas dengan kondisi sebagai makhluk ciptaan. Dia inigin menyamai Pencipta-Nya. Ini adalah kesombongan. Dan di Alkitab, kesombongan adalah awal kejatuhan si iblis atau bintang timur. Sekaligus Alkitab menyatakan kesombongan adalah salah satu dosa yang dibenci oleh Allah. Karena kesombongan membuat manusia merasa tidak memerlukan Tuhan, tidak membutuhkan bantuan dan pertolongan-Nya dalam menjalankan hidup ini. Padahal manusia bukanlah makhluk super yang mampu mengatasi segala permasalahan di hidupnya. Dan jika kita sudah tidak memerlukan Tuhan, berarti kita sudah yakin akan kemampuan diri sendiri atau kemampuan pribadi lain di luar diri kita seperti orang lain, atau ilah lain. Di satu sisi, percaya kepada kemampuan sendiri adalah baik, tetapi jika kemampuan diri itu berubah menggantikan kepercayaan kepada Tuhan, itu yang salah.

Dalam kondisi yang akhir-akhir ini, kita mengetahui bahwa dunia khususnya Indonesia semakin tidak menentu. Kita mengetahui perekonomian kita yang secara mikro semakin buruk karena harga-harga yang semakin membumbung tinggi. Lihat saja, harga listrik yang naik, harga bbm yang sebentar lagi naik. Kita banyak kesulitan mendapat penghasilan yang lebih baik, sementara pengeluaran akan kebutuhan semakin meninggi. Bagi kita banyak yang kesulitan mendapat pekerjaan yang lebih baik, karena walau kita punya kemampuan, kita akan kalah dengan adanya KKN di berbagai perusahaan. Dan di banyak daerah, untuk mengadakan kebaktian rumahtangga yang mungkin diadakan sebulan sekali atau dua bulan sekali saja sudah mulai sulit dilakukan. Karena adanya tentangan dari pihak RT atau RW setempat. Dengan kondisi yang carut marut seperti itu, akan menjadi tantangan tersendiri untuk menjadi seorang Kristen seperti yang diinginkan Tuhan bagi setiap umat-Nya. Apalagi kalau harus memberitakan Injil membuat kita harus berpikir dua kali untuk menjalankannya. Hal-hal tersebut di atas dapat saja membuat kita menjadi ciut nyali, menjadi putus harapan, menjadi apatis. 

Namun, disinilah arti dari firman Tuhan yang kita baca hari ini. Kita mengetahui, Paulus juga menanggung beban yang berat ketika ia menjadi seorang rasul. Dan saya pikir, tuntutan dan beban sebagai seorang rasul pasti lebih besar dari pada kita sebagai jemaat biasa. Bukankah Alkitab mengatakan, siapa yang mempunyai talenta lebih akan dituntut lebih pula?  Melalui Alkitab pula, kita mengetahui betapa Paulus dalam mengabarkan Injil banyak sekali mendapat tantangan? Dia pernah dilempari batu, dia hampir dibunuh, dia pernah terdampar di laut, dia pernah disesah, harus menghadapi penyamun, menghadapi bahaya dari saudara-saudara palsu (band.2Korintus11:24-27).

Tetapi ketika dalam menghadapi hal-hal tersebut, Paulus terlihat tidak pernah putus asa, tidak pernah mundur, dia pantang menyerah. Apa rahasianya? Ternyata seperti yang diungkapkan dalam perikop ini adalah kemauan Paulus untuk tidak meninggikan diri. Tetapi dia lebih mau bermegah dalam kelemahannya. Ibaratnya, seperti ketika anak saya sakit. Untuk dapat sembuh, ia harus disuntik. Tetapi begitu melihat alat suntik itu, anak saya meronta dengan kerasnya sambil berteriak-teriak dan menangis dengan cukup keras. Satu sisi, perasaan saya menjadi sedih dan tidak tega melihat anak saya harus menangis, memberontak karena takut untuk disuntik. Tetapi, saya harus tetap memegang dia agar dapat disuntik. Karena dengan serum atau obat yang disuntikkan itulah, anak saya dapat segera sembuh dari sakitnya.
Paulus mungkin awalnya memberontak, menolak duri dalam daging itu, tetapi akhirnya dia sadar bahwa lewat duri dalam daging itulah, kuasa Tuhan hadir dengan nyata dalam hidupnya. Mungkin prosesnya tidak mudah, menyakitkan, tetapi hanya dengan berserah dan mengandalkan kasih karunia Tuhan saja dia dapat kekuatan untuk menanggung segala derita itu, berbagai-bagai tekanan dalam dirinya.

  1. Ketika mencukupkan diri dengan kasih karunia Tuhan maka Allah akan memberi kekuatan-Nya
      Kata cukup dalam ayat 9 ini mengingatkan kita untuk beberapa kata cukup yang sering dipakai oleh Alkitab. Misalnya : dalam doa Bapa kami, dalam Fil.4:11 : “belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan,” Ibr.13:5 : “cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Kata cukup dalam ayat 9 mempunyai beberapa pengertian seperti merasa puas dan cukupkanlah. Mengapa Paulus dapat merasa puas atau tercukupkan akan kasih karunia Allah padanya padahal sementara itu ia mempunyai beban tersendiri berupa duri dalam daging?

Menurut seorang penafsir, Paulus menunjukkan kepasrahan mutlak kepada Allah yang membuat dia sangat merendahkan diri di hadapan Tuhan. Karena pengertian kasih dalam ayat ini (ay.9) adalah kasih karunia Kristus memiliki kekuatan yang tidak pernah pudar. Kekuatan kasih Tuhan ini terjadi terus menerus dan membuat manusia itu akan menuju kepada kesempurnaan. Sehingga kasih karunia Allah itu menunjukkan kehadiran, kemurahan, dan kuasa Allah. Itu merupakan suatu daya, suatu kekuatan sorgawi yang dikaruniakan kepada mereka yang berseru kepada Allah. Kasih karunia ini akan berdiam dalam diri orang percaya yang setia, yang mengalami kelemahan dan kesukaran demi Injil. 

Bagaimana dengan kita? Kita tahu, untuk menjadi orang percaya bukan sesuatu yang mudah untuk kita jalankan. Jika kita ingin menjalankan iman kita, kita mungkin dihina, dihindari, dicemooh. Bahkan oleh keluarga sendiri. Atau bahkan kita menjadi gamang di tengah pekerjaan, karena di perusahaan tempat kita kerja, disana banyak orang yang melakukan penipuan. 

Ada satu kesaksian seorang hamba Tuhan dari Taiwan ketika ia baru menerima Yesus Kristus. “Saya teringat ketika Tuhan membiarkan saya melewati beberapa pencobaan di saat saya pertama kali mempercayai Dia. Orang tua saya dan seluruh keluarga saya sangat menentang keyakinan saya karena saya adalah orang pertama di tengah keluarga saya yang menjadi orang yang percaya kepada Yesus. Setiap kali saya makan di rumah, saya berdoa mengucap syukur kepada Allah karena telah memberi saya makan. Setiap kali saya berdoa, ipar saya akan mengeluarkan komentar yang kasar untuk mengejek saya. Dia memberitahu saya bahwa makanan itu tidak jatuh dari langit, makanan itu dibeli dengan uang yang diperoleh dengan susah payah. Sekalipun reaksinya itu menimbulkan tekanan yang besar bagi saya, saya tetap bertahan mengucapkan syukur sebelum makan.” 

Tiap-tiap orang memiliki pergumulan yang berbeda-beda. Namun sebagai orang Kristen, kita dituntut harus bekerja dengan jujur. Kita dituntut harus menjadi orang Kristen yang taat, kita dituntut untuk selalu mengucap syukur dalam segala hal. Namun, dari sekian banyak orang Kristen yang menjalankan hal-hal tersebut di atas, tetap ada saja hal-hal yang menyakitkan, membuat derita harus dialami oleh orang-orangKristen yang taat itu. Seperti penyakit yang cukup serius, kesusahan selalu datang, kebahagiaan yang rasanya sukar untuk peroleh. Selalu mendapat tekanan dari berbagai pihak karena imannya, dan lain sebagainya. 

Disinilah kuncinya bagi kita yaitu mencukupkan diri akan kasih karunia Allah yang berarti kita merendahkan diri di hadapan Allah. inilah yang disebut dengan anugerah kecukupan. Kita adalah manusia terbatas, yang berdosa, sehingga kita sulit untuk dapat hidup sesuai dengan standar Allah. Lewat kelemahan, lewat ketidak mampuan kita, lewat ujian dan pencobaan, kita harus melihat bahwa kita harus meletakkan diri kita di tangan Allah. kita harus meminta anugerah kecukupan itu kepada-Nya. Sehingga dalam hidup akan muncul ketergantungan mutlak pada Tuhan. Jangan sampai kelemahan, ujian iman dapat membuat kita jauh dari hadapan Tuhan. Kita tidak boleh kalah akan hal itu. 

Ilustrasi anugerah kecukupan :
Fanny J Crosby seorang yang buta karena pada umur 6 minggu dia diberi salah obat infeksi mata. Dia menjadi orang yang bertumbuh buta dan sempat mengalami keputusasaan terhadap dirinya sendiri. Sampai umur 8 tahun ia mencoba bangkit dari keputusasaannya dengan menulis sebuah puisi :

Oh, betapa jiwaku berbahagia! Meskipun aku tak dapat melihat, 
Aku puas berada di dunia ini. Begitu banyak berkat kurasakan 
yang banyak orang tidak merasakannya. Menangis dan berkeluh kesah karena aku buta, tak mampu kulakukan--dan tidak akan pernah!
Bukannya menangis dan berkeluh, Fanny mempersembahkan kebutaannya kepada Allah. Berdasarkan pengalaman hidup yang kaya sebagai orang Kristen, ia menulis banyak pujian bagi Tuhan. Dalam lagu yang menceritakan pengalaman hidupnya, "Blessed Assurance," terkesan seolah ia lupa bahwa ia buta. Bagian dari syair yang mengatakan "Pandangan yang amat mempesona terpampang di hadapan saya" atau "Berjaga dan tunggulah, pandanglah ke atas" menggambarkan apa yang ia sebut sebagai "kemuliaan Allah yang sudah dapat dirasakan pada saat ini."

  1. Ketika kita semakin rela menderita bersama Kristus maka kekuatan Allah akan hadir dalam diri kita
Kerelaan untuk menderita bersama Kristus juga terdapat dalam Yakobus 1:12 yang mengatakan : “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan.” Ayat ini secara sekilas seakan-akan memperlihatkan seseorang yang aneh, tidak biasa, atau dapat dikatakan gila. Bagaimana orang biasa dapat mengatakan senang dan rela dalam kelemahan. Apakah dia seorang yang masokhist (menyenangi siksaan). Tentunya disini kita tidak boleh salah perkiraan. Karena Alkitab pasti tidak akan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan kasih Allah. Karena Allah tidak akan setuju bila seseorang menyukai tindak kekerasan dan siksaan pada dirinya. Karena menurut psikologi manusia, masokhist itu adalah sakit jiwa atau kelainan jiwa.

 Namun, rela menderita bersama Kristus adalah satu tuntutan yang diberikan kepada setiap orang percaya? Mengapa? Karena Kristus adalah Sosok yang ditolak dunia, dan siapa pun yang mengikuti Dia pasti mendapat penolakan dari dunia juga (banding Yohanes 15:18-21). Sehingga apapun yang kita kerjakan di dalam Dia akan menimbulkan dampak kebencian dari dunia kepada kita. Di sinilah yang disebut Petrus dalam 1 Petrus 4:14 : “Berbahagialah kamu jika kamu dinista karena nama Kristus....” 

Misalnya saja, saya teringat tentang cerita seorang teman yang mengatakan, jika ia berkumpul dengan teman-teman bisnisnya, ia suka menjadi bahan tertawaan. Sebagai pebisnis, teman saya suka bertemu dengan teman-teman yang satu bidang dengan dia. Namun, di akhir pertemuan mereka, teman saya suka diajak untuk ikut memanggil cewek-cewek untuk menemani mereka sambil minum-minum. Teman saya tentu saja menolak ajakan mereka dengan mengatakan dia harus taat kepada ajaran Firman Tuhan. Karena selalu menolak begitu, ia sering menjadi bahan tertawaan atau lelucon. Teman saya memang merasa hal itu menjadi satu beban tersendiri. Dia sebenarnya tidak mau lagi bertemu dengan teman-teman yang mengolok imannya, tapi dia mengaku, satu sisi, mau tidak mau, teman saya itu harus bertemu mereka demi bisnisnya.  

Kerelaan di sini tentunya menuntut kesiapan dari diri setiap orang percaya. Kesiapan yang berdasarkan cinta kasih Tuhan kepada setiap kita. Cinta kasih  yang sudah ditunjukkannya melalui karya salib dengan mengorbankan nyawanya kepada setiap orang percaya agar tidak hilang dalam dosa. Kesiapan itu salah satunya dengan menyadari hal yang akan dilewatinya bukanlah hal yang mudah, hal yang sepele. Namun, hal yang berat dan bahkan dapat menyiksa dirinya secara fisik atau pikiran, atau batin. Dengan kondisi yang seperti itu, maka orang percaya harus semakin mendekatkan dirinya pada Tuhan. Karena hanya pada Tuhanlah ada pertolongan, ada kekuatan yang dapat memampukan kita melewati berbagai macam tantangan, berbagai macam penderitaan itu.  

Pada saat kita merelakan diri menderita dalam Yesus, maka penggenapan nubuatan tentang  penyertaan Tuhan kepada orang percaya sepanjang zaman akan terjadi (Mat.28:20). Penyertaan Tuhan di sini merupakan kehadiran Allah yaitu Roh Kudus yang akan memberikan kekuatan dan penghiburan kepada setiap orang percaya yang rela menderita. Dan justru kekuatan tersebut akan semakin menguat dalam hidup kita seiring dengan bertambahnya kerelaan dalam hidup kita untuk menderita bersama Yesus.